Budaya Buku dan Para Pemangkunya yang Loyo


A.S. Rosyid
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah dan guru literasi di Madrasah Aliyah Alam Sayang Ibu Lombok Barat


Razia buku di Gramedia Makassar dianggap mencoreng reputasi literasi yang telah dibangun para pegiat muda setempat. Butuh waktu yang tidak sebentar, dan butuh kerja kolektif yang serba gigih, untuk sebuah kota menjadi ikon literasi, yang mampu menggelar festival buku bergengsi secara rutin. Makassar menggelorakan minat baca tidak cuma di kawasan Indonesia Timur tapi seluruh Indonesia, dan tahu-tahu di sana muncul sekelompok orang yang menyita buku tanpa membaca?

Manusia, buku, dan proses antara keduanya yang bernama membaca, tidaklah sederhana. Dengan membaca, manusia memasuki bentang pikiran dan pengalaman manusia lain. Manusia dihadapkan pada data dan opini, pada petunjuk dan kesimpulan, yang keduanya harus ditimbang sebelum diiyakan. Artinya, membaca membutuhkan (dan dengan demikian, melatih) kecakapan berpikir. Informasi suatu buku butuh perbandingan, konfirmasi, atau koreksi dari lebih banyak buku. Membaca menghadiahkan petualangan.

Maka orang yang terbiasa membaca terbiasa pula menunda reaksi. Tidak pula mudah dipengaruhi. Sebab, menarik kesimpulan tidaklah seenteng kelihatannya.

Sifat “tidak enteng” itu terlihat dari pelengkap keterampilan berpikir, yaitu keterampilan merasa. Membaca menuntut keteguhan hati untuk bersikap jujur. Sebab, di setiap opini dan kesimpulan tersirat paradigma atau ideologi, yakni cara seseorang atau suatu kelompok memandang realitas. Suatu cara pandang tidak selalu utuh-menyeluruh, namun tidak jarang pula memberi tafsir apik. Maka pembaca dituntut memeriksa tiap-tiap argumentasi, dan belajar memilih yang terbaik.

Ada sesuatu dari buku yang mendorong terciptanya lingkungan yang khas. Buku menuntut perbincangan, di mana manusia saling mempertukarkan pikiran dan perasaan. Buku memicu refleksi, yakni kesadaran manusia pada kenyataan di sekitar mereka. Itulah budaya buku: budaya bersedia mengunyah sebelum menelan, budaya bersabar memeriksa keadaan.

Seharusnya begitu.

Hanya saja, terpampang pemandangan lain di lapangan. Kelompok yang seharusnya menjadi pemangku budaya buku, yakni mahasiswa dan dosen, entah mengapa semakin jarang berbudaya buku. Saya mengamati fenomena ini di lingkaran aktivis mahasiswa di Kota Malang. Sebagai aktivis, mereka lebih acap nongkrong di warung kopi, terlibat dalam percakapan yang tidak tentu arah (bahkan sangat pragmatis), berlarut-larut, hampir setiap malam. Ide bisa dipertukarkan lewat ngopi, dan mereka puas dengan itu.

Mereka tidak mampu membedakan antara ngopi dan belajar. Memang benar bahwa sembari ngopi mereka bisa membincang ilmu, tapi belajar tak bisa disembarikan. Belajar harus terencana, khidmat, dan istikamah. Ada upaya mencapai kemenyeluruhan, kedalaman, dan kepaduan, dalam memahami konteks, paradigma, dan aksi―dan semua itu tidak mungkin dicapai dengan sekadar menggosipkan ilmu selintas lalu. Belajar memang bisa dilakukan di warung kopi agar suasana rileks, namun ngopilah yang disembarikan.

Paling parah, saya pernah bertemu kelompok mahasiswa yang terang-terangan menolak budaya buku karena menghambat aksi. “Sibuk membaca tapi tidak beraksi untuk rakyat,” kata mereka, dan tudingan itu diucapkan di warung kopi, pada suatu malam, setelah seharian mereka lalui dengan tidur (karena malam sebelumnya mereka begadang), dan malam itu mereka hendak begadang lagi.

Mungkin karena perkembangan zaman, wajar bila aktivis era milenial tidak punya energi yang cukup untuk merasa betah membaca dan menjadikan buku sebagai tumpuan utama dalam mengembangkan kapasitas intelektual. Sekalipun sebetulnya, sebagai akademisi, alasan semacam itu tetap tidak bisa dibenarkan. Budaya buku adalah budaya verifikasi, salah satu pilar kegiatan ilmiah di kampus. Bagaimana bisa aktor kegiatan ilmiah tidak berbudaya buku?

Mungkin, kita bisa berharap budaya buku dipelihara oleh akademisi level sinuhun seperti dosen. Namun, kita harus berpikir dua kali sebelum berharap. Kenalan saya adalah seorang intelektual muda yang baru lulus kuliah dari luar negeri dan diterima mengajar sebagai dosen dengan perjanjian khusus di sebuah kampus, dengan kewajiban melakukan dua penelitian, menerbitkan dua jurnal, dan terlibat dua pengabdian masyarakat, setiap tahun. Itu tuntutan berat, namun ia terbiasa melakukannya. Hanya saja, “Dosen senior tidak diwajibkan melakukan apa-apa!” Ia tertawa―tawa geram.

Ia pening dengan polah dosen-dosen senior yang jarang ke kantor, dan sekalinya datang memenuhi kantor dengan obrolan tidak produktif. Hiruk pikuk tak berkualitas itu mengganggu kenyamanan membaca dan menulis sebagai peneliti. Iklim intelektual hampir tidak ada, buku tidak pernah dibaca. Dosen-dosen itu tidak melakukan penelitian apapun; sebagian kecil diketahui terbiasa “membeli” jurnal untuk diterbitkan atas nama mereka.

Sebuah lagu lama, tentu saja; yang mengeluh tentang betapa tidak bermutunya sebagian besar dosen-dosen Indonesia bukan hanya dia. Mungkin juga pemandangan ini merata di kebanyakan perguruan tinggi. Tapi saya menceritakan ini bukan dengan maksud lanjut mengeluh. Sekadar menggulirkan pertanyaan: bila yang diharapkan menjadi pemangku budaya buku loyo, bagaimana dengan yang lain?

Merazia buku adalah fenomena permukaan, hampir selalu didasari oleh “gosip” satu kelompok terhadap kelompok lain, kemudian disambut penuh gelora oleh beberapa orang yang senang “berbuat baik” namun hanya bermodalkan “katanya”. Di balik yang tampak itu adalah krisis literasi, ketidakmampuan bersikap kritis dan sabar dalam mengkaji. Bila di hulu saja ketidakmampuan itu dipertontonkan, apa jadinya di hilir? []

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

  • Anonymous
    Posted August 12, 2019 at 8:44 am 0Likes

    setuju banget sama pikirannya penulis. Great.

Leave a comment