PUCUKMERA – Aku dan Sari berkeliling ke seluruh penjuru Sepunggur. Kali ini berkilo-kilo jalanan yang kadang berlumpur dan kadang gersang itu kami tempuh dengan menggunakan sepeda motor milik Mas Yuli. Betapa baiknya Mas Yuli itu, kami harus berterima kasih padanya. Karena sepeda motornya aku dan Sari tidak perlu repot-repot berjalan kaki mengelilingi hutan belantara itu. Oh tidak kalau aku harus berterima kasih, maka Sari lah orang pertama yang harus mendapat ucapan terima kasih dariku. Entahlah dapat angin dari mana mahasiswi teknik pertanian itu mau kuajak susah-susah mengumumkan hajat besar dari klaster kesehatan ini.
Kali ini Sari lah yang menemaniku menyampaikan woro-woro besar ini. Via, Yani, dan Putri sedang sibuk dengan tanggung jawabnya masing-masing. Masih terkait dengan program yang akan kami selenggarakan besok. Via fokus menjadi koorlap, Putri menyiapkan konsumsi untuk peserta dan Yani fokus demi memenuhi kebutuhan makan malam kami. Ya. Saat ini Yani mendapat jatah untuk piket masak. Sedangkan aku mendapat jatah untuk mengumumkan acara yang akan diselenggarakan besok itu.
Senam sehat. Salah satu program besar dari klaster kesehatan yang kami selenggarakan setiap minggunya. Salah satu program kami yang paling diminati oleh warga terutama ibu-ibu selain pemeriksaan kesehatan gratis. Terbukti, wanita-wanita itu rela berangkat jauh dari ujung sana walau matahari sedang terik-teriknya. Ada yang bersepeda hingga yang menggendong anak pun turut serta, hanya demi mengikuti gerakan aku dan Via instruktur senam mereka.
Sebenarnya malas sekali ketika aku diminta Via untuk menemaninya menjadi instruktur senam itu. Seorang Rara mana ada bakat seperti itu. Tapi aku sadar bahwa KKN bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan secara individu. Semuanya kerjasama. Aku juga sadar bagaimana jika aku berada di posisi Via, harus memandu banyak orang dengan sendirinya. Kalau lupa gerakan gimana? Akhirnya aku menyetujui permintaan teman dari jurusan yang sama dengan aku itu. setidaknya jika ia salah ada aku yang mengingatkan. Setidaknya dia tidak sendirian.
Akhirnya aku dan Sari sampai di RT 28. Di sana kami melihat banyak orang yang sedang berkumpul di depan salah satu rumah warga. Kami memutuskan untuk pergi kesana mengabarkan acara yang mereka tunggu-tunggu. Tapi niat itu tidak terealisasi sesuai rencana awal kami setelah tahu alasan berkumpulnya warga disana.
“ Ada apa ini pak kok ramai?” Tanyaku kepada salah satu warga.
“ Ini mbak Bu Ning Sakit.”
Mendengarnya aku dan Sari langsung masuk menerobos keramaian yang ada di rumah itu. Sempat aku bertemu dengan mbak bidan desa yang memeriksa tekanan darah bu Ning. 180/100 mmHg katanya. Perlu diketahui bahwa tekanan darah normal manusia dewasa adalah 120/80 mmHg. Apabila melebihi dari batas itu gejala tertentu dapat terjadi, salah satunya seperti pusing yang dialami oleh bu Ning. Jadi sudah hal yang wajar apabila beliau merasakan pusing yang hebat hingga kepalanya ia bentur-benturkan, bahkan sampai terlihat seperti orang yang sedang kesurupan.
Warga di sana sangat mengandalkan Bidan. Entah itu sakit kepala, sakit mata, batuk, pilek, atau apapun itu mereka selalu memanggil wanita yang kata orang-orang sering disebut sebagai menantu idaman. Hahaha. Bukan apa-apa di sana hanya ada satu bidan dan perawat saja. Tetapi yang sedia setiap saat hanya mbak bidan ini, karena mbak Lia sang perawat harus pergi pulang setiap harinya. Ke desa seberang sana.
“Mbak jurusan kebidanan ya?” Tanya Bu Mar, tetangga yang menjaga Bu Ning.
“ Iya bu.. Kok ibu tau?” Tanyaku penasaran.
“ Iya.. mbak yang jadi instruktur senam itukan?”
“ Iya bu.. hehe.”
Ternyata ada hikmahnya juga aku mengabulkan permintaan Via menemaninya menjadi instruktur senam. Setidaknya sebagai mbak-mbak KKN wajahku cukup dikenal oleh masyarakat. Mungkin ibu-ibu itu sudah bosan melihat wajahku setiap penyuluhan kesehatan yang kami selenggarakan.
“ Mbak bisa tolong diperiksa lagi tensinya ?”
Tanya Bu Mar sembari memegangi bu Ning yang terus menerus memegang kepala menahan kesakitan. Sayangnya saat itu aku sedang tidak membawa senjata utamaku. Tensimeter. Ahhh.. Rara bagaimana bisa kamu lupa, ke SD saja kamu membawanya. Entah kali ini aku dapat angin lupa dari mana.
“ Bagaimana kalau malam ini mbak tinggal di sini?” Pinta bu Mar setelah mengetahui bahwa aku tidak membawa alat yang diperlukan untuk memenuhi permintaannya.
Mendengar hal itu aku tak langsung menjawab. Aku dan Sari saling berpandangan, sepertinya kami satu pemikiran. Aku ngga tau harus menolak atau bagaimana. Tapi waktu itu senja sudah tiba. Kami yang sama-sama wanita sebenarnya sudah ingin pulang. Setelah berpikir sejenak aku mengiyakan permintaan ibu itu. Tapi sebelumnya kami pamit pulang terlebih dahulu untuk mengambil tensimeter dan meminta izin pada teman-teman lain. Akhirnya kami berdua pulang.
Sesampainya di pondokan aku langsung mandi, melihat aku yang terburu-buru para wanita penghuni pondokan pun bertanya. Langsung saja aku jawab mau kerumah Bu Ning, ibunya Yoga yang sedang sakit. Setelah memakai bedak dan gincu tipis-tipis aku langsung pergi ke pondokan sebelah. Pondokan para ganteng Sepunggur yang kadang peka dan kadang ngga itu bersarang. Sebenarnya aku malas minta tolong pada mereka. Tapi aku sadar hari sudah malam, tidak mungkin aku berjalan apa lagi mengendarai motor sendirian ditengah kegelapan menerjang semak-semak dan lumpur keabadian.
Akhirnya aku minta salah satu dari mereka mengantarkan ku kerumah Bu Ning. Alhamdulillah saat itu mereka sedang peka. Ruben sang filusuf kampus mau mengantarkan aku kesana. Sayangnya motor satu-satunya yang tim kami miliki sedang dipakai sehingga kami harus meminjam motor warga yang bentuknya lebih mirip seperti besi berjalan.
Aku hampir menyerah melihat penampakan motor tersebut. Apalagi ketika Ruben angkat tangan kerena dia ragu untuk mengendarainya. Akhirnya Ruben meminta tolong wahyu, Sang remaja pemilik motor untuk mengantarkan aku ke rumah bu Ning. Awalnya ada sedikit rasa takut dalam benakku, bagaimana tidak bayangkan saja malam-malam seorang wanita yang katanya takut pada kegelapan diantar orang yang tak begitu dikenal dengan motor yang bentukannya lebih mirip besi berjalan tanpa lampu, hanya di temani cahaya langit malam dan gemerlap sang bintang.
Tetapi setelah mengingat janjiku pada bu Mar aku langsung memantapkan tekad untuk tetap pergi ke sana. Oke aku percaya Wahyu. Akhirnya aku duduk di belakang Wahyu. Remaja Sepunggur itu memintaku untuk memegang headlamp demi menerangi jalan. Tapi headlamp kali ini tidak dipasang di kepala, melainkan aku pegang karena benda itu akan tidak menyala jika tidak ditekan tombol dayanya. Jadi sepanjang jalan aku harus memencet tombol dayanya agar lampu tersebut tetap menyala. Tau lah ya gimana pegelnya tangan aku memegang benda itu.
Sesekali lampu mati saat kami melewati jalanan yang bergeronjal. Aku pun panik. Tetapi remaja itu berusaha menyembunyikan kepanikannya. Dia tetap berusaha mengendarai besi berjalannya sembari meraba jalan yang tidak rata di tengah kegelapan yang nyata.
“Yu, yang biasanya naik motor malam-malam di depan pondokan itu kamu kan?” Tanyaku memastikan orang yang mengendarai motor yang menurutku sangat berisik itu.
“ Iya mbak. Hehe” Jawabnya singkat.
“ Kok kamu bisa naik motor gelap-gelapan di tanah yang kaya gitu sih Yu?” lanjutku.
“ Ya ini insting mbak..” Jawabnya dengan logat jawa yang khas.
What? Insting katanya? Debakkk. Keselamatan ku berada dalam genggaman instingmu Yu. Oke untuk kali ini aku percayakan keselamatan aku pada instingmu. Jeritku dalam hati.
Akhirnya setelah beberapa lama melewati semak semak nan gelap aku dan wahyu sampai di rumah Bu Ning. Masih terlihat Bu Ning terbaring lemas. Aku pun langsung mengeluarkan senjata utamaku. Tensimeter. Setelah ku periksa Alhamdulillah Tekanan darah Bu Ning turun menjadi 160/100 mmHg. Tetapi sepertinya rasa sakit yang ia rasakan belum berkurang. Bu Ning masih dengan sengaja membentur-benturkan kepala ke lantai kayu rumahnya. Aku genggam tangan Ibu itu. Ku bisikkan “Bu Ning.. Sabar.. Istigfar bu..”
Asli saat itu merupakan saat menegangkan bagiku. Di tambah lagi ketika aku sadar bahwa di sana aku sendirian, tidak ada teman dari tim yang menemani. Beruntungnya beberapa saat kemudian Wawan sang ketua datang bersama Yani sang koordinator klater kesehatan.
Akhirnya aku bisa bernapas lega. Setidaknya aku tidak sendiri di sana. Tak berselang lama dari itu, Bu Mar meminta kami untuk membantu mereka membawa Bu Ning ke puskesmas. Akhirnya salah satu warga pergi ke rumah bidan desa tersebut dengan niat meminta surat rujukan untuk ke puskesmas. Tapi sayang surat rujukannya habis. Jadi bidan hanya dapat memberikan selembar surat yang berisi nama pasien, umur, tekanan darah, dan tindakan yang telah diberikan. Namun surat itu tidak berfungsi sebagai surat rujukan, dan hanya berfungsi sebagai surat pemberitahuan saja. Ketika dimintai surat rujukan, bidan meminta bapak tersebut untuk menghubungi pak kepala desa. Sedangkan posisinya saat itu di sana sedang tahap pergantian kepala desa.
Akhirnya Wawan memutuskan untuk menelfon kepala desa lama untuk meminta surat rujukan. Sayangnya kepala desa yang lama malah meminta kami untuk menghubungi kepala desa yang baru terkait hal tersebut. Akhirnya Wawan menghubungi kepala desa baru. Kepala desa baru melakukan hal yang sama seperti kepala desa yang lama. Malah meminta kami menghubungi kepala desa lama karena beliau belum begitu paham terkait keberadaan surat rujukan puskesmas tersebut.
Walaupun merasa seperti bola yang dilempar kesana kemari, Wawan tidak merasa putus asa. Akhirnya ia menghubungi kepala desa yang lama dan meminta tolong kepala desa yang lama mendampingi Bu Ning ke puskesmas. Akhirnya kepala desa lama bersedia menyanggupi permintaan Wawan.
Sayangnya hari itu sudah terlampau malam, air parit yang biasaya digunakan sebagai media lewat ketinting kini telah surut. Sehingga parit depan rumah tidak memungkinkan untuk dilewati kendaraan yang mirip seperti perahu itu. Sedangkan naik motor pun bukan solusi yang tepat karena mengingat kondisi Bu Ning yang seperti itu. Mau naik Viar alias gerobak motor pun tak bisa karena jembatan menuju jalan utama hanya dapat dilewati oleh satu motor saja.
Ya Allah.. Drama apa yang terjadi kali ini? Akhirnya Wawan meminta aku, Yani dan Wahyu untuk keluar dan berunding bersama. Kedua temanku sempat bertanya terkait urgensi dibawanya Bu Ning ke puskesmas. Melihat kondisi Bu Ning yang mulai menunjukan perkembangan, sebenarnya masih dapat menunggu datangnya hari esok untuk dibawa ke puskesmas. Akan tetapi para tetangga berharap bahwa sang ibu mendapatkan pelayanan kesehatan di puskesmas.
Akhirnya aku berusaha membicarakan hal tersebut kepada salah satu warga. Kami sepakat untuk membawa Bu Ning ke puskesmas besok, dengan pertimbangan bahwa tekanan darah Bu Ning sudah mulai mambaik dan melihat kondisi geografis yang tidak memungkinkan.
Malam itu adalah malam panjangku di Sepunggur, aku merasa seperti kebagian shift malam di rumah sakit. Hanya saja bedanya kalau di rumah sakit lantainya keramik, sedangkan di sini berlantaikan kayu. Kalau di rumah sakit tidak khawatir akan kegelapan, di sini ada lampu remang-remang pun aku bersyukur. Lagi-lagi aku membatin. Indonesia.. Indoneisa… tapi aku tetap cinta.
Oleh : Arina Nursafrina Rahmatina
Editor : Novania Wulandari
Illustrator : Mufardisah