Belajar Cara Beragama Orang Awam: Refleksi untuk Sarjana Agama Islam

Baiturrahman
Alumnus Universitas Muhammadiyah Malang


Terus terang, tulisan ini terinspirasi dari salah satu judul esai Gus Ulil Abshar Abdalla, cendekiawan muda NU, yang berjudul Jangan Rendahkan Cara Beragama Orang Awam. Judul tulisan ini dimuat dalam sebuah buku Sains Religius, Agama Sainstifik. Buku yang ditulis Gus Ulil bersama Dr. Haidar Bagir ini memberikan pesan mendalam yang dikemas dengan bahasa ringan dan menarik. Buku ini menjelaskan adanya relevansi antara agama dan sains dalam realitas kehidupan manusia dan alam semesta (kalo gak percaya, baca saja).

Tapi di sini saya hanya ingin melirik salah satu tulisan Gus Ulil tersebut, sebab tulisan ini bagi saya memuat pesan yang amat relevan dengan corak beragama kita yang saat ini agak pongah dan jauh dari kesan lemah lembut, toleran dan menggembirakan.

Gus Ulil memaparkan, bahwa kualitas keberagamaan seseorang itu tidak ditentukan dari tingkat pendidikan yang dikenyam. Karena bisa jadi intensitas keimanan dan kedalaman seseorang yang beragama, yang jauh dari hingar-bingar dunia dan ‘parade sosial’ justru lebih baik cara beragamanya. Sedangkan mereka yang mengenyam pendidikan keagamaan belum tentu mendalami esensi keberagamaan itu sendiri walaupun telah banyak menelan ilmu-ilmu agama yang dipelajari di bangku pendidikan formal.

Mari kita refelksikan atau kita telaah kembali, bagaimana cara beragama orang-orang yang tak mengenyam pendidikan keagamaan di universitas-universitas, Ibu-ibu kita yang hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar, kawan-kawan kita yang tak mengenyam pendidikan universitas, dan keberagaman wong cilik, yang tiap hari setelah pulang kerja menyempatkan diri untuk pergi ke masjid. Mereka, para petani, nelayan, pedagang asongan dan lain-lain sebagainya, dapat beragama secara sederhana.

Saya ingin memberi contoh, kawan-kawan saya yang putus sekolah karena masalah biaya, masih bisa belajar agama lewat pengajian kiai-kiai kampung dengan kitab kuningnya. Saya pernah beberapa kali sempat mengikuti pengajian orang-orang yang sering disebut santri salafi. Mereka yang mengaji rata-rata tak dapat mengenyam pendidikan tinggi. Masalah ekonomi adalah masalah utamanya. Sebab biaya kuliah yang supermahal membuat mereka geleng kepala.

Walaupun mereka tak mengenyam bangku universitas, semangat belajar kaum santri tradisional ini tak bisa kita remehkan. Sebab begitu sabar mengulik, menelaah, mencatat dan memahami isi dari kitab yang dipelajari. Bahkan bisa bertahan berjam-jam belajar kitab yang diajarkan kiai di kampungnya. Begitu konsisten mereka mendalami ilmu.

Soal pengamalan jangan tanya mereka yang mengaji hanya bermodalkan kitab kuning; Jurmiyah, Talimul Mutaallim, Tafsir Jalalian, Murakul Ubudiyah, Syafinatun Nazah dan lainnyaa. Kesederhanaan, ketawadukan, dan  ketekunan adalah bukti pengamalan ilmu yang mereka dapatkan. Sehingga, saya bisa jamin mereka yang belajar bermodalkan kitab kuning yang saya sebutkan tadi, lebih toleran cara beragamanya dari pada mereka yang belajar agama lewat smartphone atau mereka yang mendapatkan informasi keagamaan lewat media sosial.

Meremehkan cara beragama kaum santri adalah kebodohan kita. Bahwa kita tidak tahu betapa luasnya khazanah keilmuan Islam di dunia terutama khazanah keilmuan Islam Indonesia.

Rasanya bagi kita yang mengenyem pendidikan keagamaan sampai jenjang universitas baik itu di jurusan Syariah, Tarbiyah atau Ekonomi Syariah. Terkadang kita lupa bahwa kita terlahir dari corak keberagamaan kiai-kiai kampung yang hanya dibayar dengan 1 atau 2 liter beras dan sebungkus rokok.

Betapapun banyaknya rokok yang dihisiap sang kiai ataupun seruputan kopi yang disedikan para santri, terlihat aura keikhlasan, ketawadukan, dan kesalehan sang kiai. Ia tak pernah berpikir bayaran yang diterima nantinya, “Ada ya diterima, gak ada ya sudah.” Paling tidak itulah yang terlihat secara kasat mata. Ia masih tetap bersemangat mengulik kata perkata dari kitab yang dibacanya, sedangkan para santri cukup tenang mendengarkan dan mencatat apa yang dikatakan sang kiai. Begitulah cara belajar beragama sederhana orang-orang awam (yang tidak mengenyam pendidikan agama di universitas).

Di satu sisi, kita perlu mensyukuri perkembangan literasi keagamaan Islam melalui banyak penelitian-penelitian agama lintas regional bahkan internasional yang dilakukan oleh para akademisi/mahasiswa, sehingga cakrawala keagamaan Islam di Indonesia bisa diperkenalkan ke berbagai negara di dunia. Tapi di sisi lain, tradisi ke-Islaman yang ada di Indonesia nampaknya hanya dijadikan objek penelitian yang semata-semata tanpa ada perhatian khusus dalam konteks mengembangkan tradisi dan masyarakatnya.

Saya ingin beri contoh yang dekat dengan kita, betapa banyak tradisi pendidikan ke-Islaman lewat langgar-langgar kecil, pengajian ke-Islaman, madrasah-madrasah yang jauh dari kata maju di desa-desa hanya dijadikan objek penelitian oleh para akademisi untuk menuntaskan tugas akhir saja tanpa menindak lanjuti pengembangan dan pemberdayaan masyarakatnya. Tri darma perguruan tinggi rasanya hanya mandek di penelitian dan belum sampai pada pengabdian masyarakat. Setelah penelitian, lulus, kemudian kerja. Hanya sebatas itulah interpretasi pengabdian masyarakat.

Jadi, dari tulisan ini saya hanya ingin bilang, jangan remehkan mereka yang tak belajar tentang teori-teori keagamaan, sosiologi agama, psikologi, antropologi, hukum Islam, penelitian kualitatif/kuantitatif dan mata kuliah lainnya yang menjelimet itu. Sebab bisa jadi intensitas keimanan mereka lebih dalam dari kita yang belajar banyak ilmu-ilmu di perkuliahan.   

Terakhir saya ingin mengutip tulisan Gus Ulil tanpa merubah satu kalimat pun dari tulisannya: “Kaum intelektual dan cendekiawan yang merasa telah mampu merumuskan cara beragama yang “intelek”, jangan memandang remeh orang-orang awam, para Ibu yang mengikuti pengajian di musala pada akhir minggu dan menyanyikan lagu-lagu pujian lewat loud-speaker dengan suara yang kadang agak false itu, orang-orang awam itu dalam hal intensitas dan pengalaman beragama di ruang sunyi yang jauh dari hiruk pikuk ‘parade sosial’, jangan-jangan memiliki kualitas beragama yang mendalam.”


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

8 Comments

Leave a comment