Bela Negara Apa Bela Rakyat?

Habib Asha Kurniawan


Jujur, dulu saya paling malas kalau sudah tiba upacara bendera, berdiri lama dan panas-panasan.

Bukannya tidak mau, tapi memang, rekam jejak saya dalam dunia per-upacara-an kurang begitu baik. Dari paling malas kalau disuruh upacara, hingga sama sekali belum pernah menjadi petugas upacara, pernahpun, hanya jadi tukang paduan suara, itu saja juga terpaksa. Maaf, ya?

Sampai-sampai, ada seorang guru berkelakar, kurang lebih begini, “Dasar! Itu namanya tidak menghargai jasa-jasa pahlawan. Di mana nasionalisme dan wujud bela negara kamu?!” Begitu menohok, bukan?

Tapi sebentar, mari kita simak sekali lagi kalimat di atas,” Dasar! Itu namanya tidak menghargai jasa pahlawan. Di mana nasionalisme dan wujud bela negara kamu?”

Bagaimana, sudah kalian simak baik-baik?

Oke, selanjutnya, mari, saya antar untuk memahami penegasan kalimat kedua tersebut. Untuk kalimat pertama, simpan saja baik-baik.

Pada kalimat kedua: ((Di mana nasionalisme dan wujud bela negara kamu?!)) begitu kalimatnya. Begini, pertanyaan saya satu, tidak banyak: jadi, sejak kapan upacara bendera bisa menjadi parameter kebangsaan dan wujud bela negara seorang manusia Indonesia? Sampai hari ini, saya belum menemukan jawaban yang cukup masuk akal.

Saya tidak bermaksud menyalahkan seremoninya, kegiatannya, atau lain hal sebagainya. Itu semua tidak ada yang salah, ya, itu semua baik. Atau kalau tidak, begini saja: hitung-hitung buat pemanasan badan di pagi hari sebelum mata pelajaran matematika nanti.

Bahkan, sekalipun sampai hari ini, kegiatan-kegiatan seremonial seperti itu tidak lantas membuat saya bangga akan nasionalisme dan wujud bela negara. Ingat, untuk seremonial, ya. Untuk hal lainnya. Kita bicarakan nanti.

Begitulah. Kira-kira itu, yang saya rasakan dulu selama mengenyam pendidikan menengah ke atas dan setiap hari Senin (kalau tidak libur) ada upacara bendera di sekolah. Risih aja, kalau sudah dikait-kaitkan dengan nasionalisme dan wujud bela negara.

Baik. Sudah, ya. Mari kembali memahami konflik batin di atas.

***

Belum ada seminggu yang lalu, saya makin dibuat risih oleh rekan saya di sana. Tiba-tiba dia mention saya di twitter. Saya kira ada apa, lha kok ternyata—tibake; begitu orang Jawa bilang—dalam suatu liputan media online—bahwa pemerintah (dalam hal ini Kemenhan) ingin menerapkan pendidikan militer untuk mahasiswa di Indonesia, singkatnya begitu.

Pikiran saya tidak jauh-jauh pada waktu itu, rekan saya—yang kebetulan salah satu penggemar K-Drama itu saya kira berharap mahasiswa Indonesia nanti bisa jadi seperti oppa-oppa di Korea Selatan sana.

Lucunya, rekan saya malah balik bertanya pada kolom komentar “Bagaimana pendapatmu? Haha” begitu tulisnya. Lantas, saya jawab: “Aku itu dari dulu kurang sepakat dengan term: pendidikan bela negara. Lebih bagus kalau anak muda diberi pendidikan bela rakyat”. Tapi, kok, saya juga heran, bisa menjawab dengan seserius ini?

Sebelum menjawab, saya sudah membaca berita tersebut, yang pada intinya memang begitu: normatif, moralis dengan segala hal yang ndakik-ndakik. Baca saja: pemerintah ingin anak muda cinta (manut) negara bagaimanapun keadaannya. Begitu saya menyimpulkan.

Bagaimana tidak risih, coba?

Apalagi, nantinya, kalau memang itu benar-benar diterapkan akan ada sebuah program pendidikan militer bagi kalangan mahasiswa di awal semester. Saya patut bersyukur akan hal ini: maaf, sudah semester tua.

Terlepas dari hal-hal tersebut, kira-kira boleh tidak, kita coba menerapkan konsep berpikir premidatio malorum ala Marcus Aurelius (Filsuf Stoa)—tentang bagaimana manusia berani membayangkan hal-hal buruk yang akan terjadi sebelum melakukan sesuatu.

Seperti, misal, kalaupun pemerintah nanti jadi menerapkan sistem pendidikan bela negara ala militeristik itu, bagaimana kalau mahasiswa jadi bungkam dan apatis dengan persoalan negara dan rakyatnya. Ini kan hanya seumpama, sebatas membayangkan, jadi, tidak apa, bukan?

Saya boleh katakan, bahwa: kalau toh, misal, mahasiswa nanti jadi terlibat dalam pendidikan militer yang dimaksud tersebut. Bisa jadi menjadi bagian negara, dan patuh dengan segala sistem yang dibuat oleh negara. 

Saya juga mengamini apa yang dikatakan Mbak Fatia (Koordinator KontraS) bahwa, pertama, mengikutsertakan pendidikan militer ke dalam ranah pendidikan formal dapat memelihara kultur kekerasan. Kedua, apakah tujuan kebijakan tersebut sebagai upaya meminimalisir sikap aktif dan kritis mahasiswa terhadap negara?

Terus terang, apa yang dimaksud di atas bisa jadi terjadi. Alih-alih mau bela negara dengan segenap jiwa raga, mahasiswa yang demikian justru-bisa jadi mendapat mental aparat. Dan, kita ketahui bersama, aparat hari ini sangat tidak bersahabat dengan yang namanya bentuk aktivisme dan ruang-ruang perjuangan rakyat. Ini yang saya takutkan.

Maka dari itu, saya punya usul: bagaimana kalau anak muda diberi pendidikan bela rakyat, sama rekan saya pada mention Twitter yang tadi.

Misalnya, bagaimana mahasiswa dan anak muda mulai diberikan edukasi dan pemahaman akan kondisi dan realitas rakyat hari ini. Jangan lupa, ini juga perlu diberikan secara struktur dan massif oleh elemen terkait, misalnya, tenaga pengajar dan pendidik. Bukan hanya kajian diskusi di warung-warung kopi.

Saya kira, kalau begitu dan mahasiswa mau sekaligus punya niat dan akses terhadap berbagai persoalan dan kondisi rakyat hari ini: ya, bisa jadi lebih memilih pendidikan bela rakyat dari pendidikan bela negara (yang seperti ini).

Dan, bagi saya, bentuk perjuangan dan pembelaan terhadap rakyat dari segala bentuk penindasan adalah sebagai wujud bela negara yang sesungguhnya. Tidak lain dan tidak bukan.

Coba, ya, kalau kita sadar akan historia para pejuang kemerdekaan dulu, siapa sih yang diperjuangkan dari bangsa—gemah ripah loh jinawi inikalau bukan rakyat?  

Lantas kenapa, semakin ke sini, saya mendengar banyak rakyat justru menjerit. Saya kurang begitu paham, apa jangan-jangan masih ada tentara kolonial di ujung sana? Sepertinya bukan, ini kan sudah 2020.

Juga, kenapa negara hari ini malah begitu sibuk, maksud saya, begitu sibuk dengan membuat berbagai kebijakan yang berujung pada berbagai hal yang tidak pro-rakyat? Bukankah itu suatu kecelakaan berpikir, dan tidak mengindahkan amanat konstitusi: bagaimana kedaulatan berada di tangan rakyat.

Kalau begini caranya, maaf, saya kurang begitu bangga dengan anasir dan segala sesuatu yang teriak-teriak “merdeka” kapan hari kemarin.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka1Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment