*) Nindia Syamsi
Di balik riuhnya kota yang bermandikan cahaya
Ada ribuan jiwa yang menderita
Sebuah mata lensa dan sepenggal narasi menolak untuk bisu dan membuta
Tunjukkan serakahnya para elit dan penguasa
Mata lensa bercerita
Bahwasannya bumi pertiwi sedang tidak baik-baik saja
“sayang, bangun dan buka mata.
Jangan sampai merdeka kita hanya sebatas kata”
Sedang penggal narasi menyenandungkan maki
Sebab ketika nelayan dan petani digilas moderenisasi
Orang orang merasa cukup bersimpati dengan ibu jari
Kini, empati sudah pergi
Hanyut bersama ribuan karang yang dirusak oligarki
Puluhan pebisnis menjelma wakil rakyat
Katanya mereka akan hebat kalau menjabat
Nyatanya lingkungan dibejat tanpa diobat
Menolak ingat menolak sempat
Dengarkan seruan rakyat meminta sepakat
“kapan kami dapat tempat?”
Gunung digali, laut ditanam besi
Lahan dibebaskan, kubangan dibiarkan memakan korban
Seakan-akan nyawa adalah mainan
Sedang protes, harus berakhir seakan tanpa pilihan
Rela dieksploitasi atau berakhir dipenjarakan
Sepertinya memang begini alur permainan
Setiap peradaban selalu akan memakan korban
Setiap pembangunan akan ada yang terpinggirkan
Jadi, berhenti saling menyalahkan
dan mulai saja perbaikan
Ini kisah perjuangan melawan bangsa sendiri
Janji-janji politisi akan selalu fana disini
Kepentinganlah yang abadi
Dan dari banyak percayaku
Ternyata hanyalah berjuta-juta buang waktu
Sesak, realita membuat kita sama sama tersedak
Tapi, menjadi apatis juga bukan pilihan bijak
Menyaksikan kita yang habis direka prasangka
Sejak itu pula aku mulai menapak pada percaya
Bahwa yang satu akan tetap terus penuh dengan utuh
Pada alam raya
Jangan dulu lelah dengan kami manusia
Yang merasa raja atas semesta
Tetapi masih senang membuat luka
Pada alam raya
Kini sepertinya pantasmu hanya dipenjarakan
Dalam doa paling agung
Dalam amin paling luhur
Agar bertambah sembuh
Dan semakin bertumbuh tangguh
Pada manusia
Berhenti jumawa sebegitunya
Kita, adalah ladang jentaka yang sebenar-benarnya ada