Another Bullshit Night in Suck City, karya Nick Flynn mengingatkan kita pada pertanyaan aneh saat kecil: “Bagaimana sebuah hierarki hubungan antar-individu bisa berjalan dalam sebuah keluarga?” Tentu saja akan mudah dijawab jika kita mempunyai keluarga normal, namun bagaimana jika tidak? Bagaimana jika kita mempunyai keluarga yang begitu kacau ? Inilah yang diungkapkan Flynn dalam memoarnya: siapa orang itu, siapa ayah saya, siapakah ibu saya, siapakah saudara saya, lalu siapa saya. Buku ini disusun dari kumpulan bab-bab pendek, seperti puisi-prosa dan dibangun menjadi kumpulan teka-teki. Masing-masing bab dalam buku ini menjadi salah satu fragmen dari keseluruhan isi buku.
Inilah satu-satunya cara bagi Flynn untuk mengerti ayahnya, Jonathan, yang meninggalkan ibunya tak lama setelah kelahiran Flynn, dan muncul kembali beberapa tahun kemudian di Boston seorang tunawisma pecandu alkohol di layanan penampungan tempat Flynn bekerja setelah putus kuliah.
“Sepanjang hidupku ayahku telah bermanifestasi sebagai ketiadaan, ketidakhadiran, sebuah nama tanpa tubuh.” tulis Flynn.
Bab-babnya singkat, hanya berisi bebrapa paragraf dan tidak lebih dari beberapa halaman. Setiap bab diberi judul dan menjadi bagian yang berdiri sendiri: Pear, Cloverleaf, Crowbar, dan Love Saves the Day, serta judul-judul sederhana lain. Beberapa bab nampak sedikit aneh, berisi dialog dan membangun kisah sendiri.
Adegan imajiner menjadi cara bagi Flynn untuk bisa memahami dan mengerti emosinya terhadap Jonathan. Jika Flynn dapat menarasikan tahun-tahun dalam kehidupannya itu menjadi sebuah acara televisi, maka pastilah siaran tersebut tidak akan boleh ditayangkan karena hanya berisi kekerasan, alkohol, dan judi. Dan Flynn sudah sejak lama menginginkan ayahnya mati, entah Flynn akan membunuh nya sendiri, ataupun Jonathan mati di tangan orang lain.
Buku ini seolah menyatukan pemikirannya dengan pembaca, alih-alih pembaca akan mengira-ngira kelanjutan konflik pada bab berikutnya, pembaca justru akan terbawa pada pemikiran Flynn, meskipun terdapat analogi jarak yang kuat, mungkin dorongan primitif verboten dari seorang anak yang telah dikecewakan oleh ayahnya, akan berharap bahwa lebih baik hidup tanpa orang tua saja. Buku ini mampu menghapus semua rasa emosional pembaca, membawa mereka pada pemikiran yang mengerikan, tetapi juga mendorong pada pengakuan diri yang pedih. Flynn mencoba mendobrak dengan kejujurannya, sentimentalitas yang mengundang empati dari pembaca.
Di dalam hati Flynn yang masih menginginkan tipikal agar ayahnya mati, Flynn tetap ingin mengenal Jonathan, atau setidaknya percaya terhadap apa yang dia ketahui tentang Jonathan demi mendapatkan kebenaran tentang kehidupannya beserta ayahnya. Flynn masih menyimpan surat-surat dari ayahnya, yang ditulis kepada Flynn ketika masih remaja meskipun Jonathan mendekam di dalam penjara. Begitu juga kisah yang diceritakan ibunya, atau kerabatnya, atau teman ayahnya tentang bagaimana Jonathan dulu menjadi seorang ayah saat Flynn masih kecil.
Pada akhir buku, pecahan teka-teki menyatu menjadi potret dalam pigura, menjadi kisah tragis: Ayahnya, Jonathan, si pemimpi, penipu, pecandu alkohol; ibunya, Jody, yang cantik, naif remaja hamil di luar nikah, dan harus dilanjutkan dengan pernikahan terburu-buru dan tanpa persiapan. Flynn kecil dan remaja tumbuh di Scituate, Massachusetts, Bersama kelompok sebuah komunitas para tunawisma di pantai selatan Boston, bersama ibu dan kakak laki-lakinya. Berjuang agar perut mereka tetap terisi dan tidak mati kedinginan di tengah musim dingin yang ekstrim. Ini adalah kisah bertahan hidup, tentang bagaimana anak-anak bisa tumbuh, bisa goyah. Seperti yang terjadi pada Flynn dan remaja-remaja lainnya di tengah kesulitan yang akhirnya bisa berkembang, seperti gulma yang tetap tumbuh di tengah jalan-jalan sempit di Kota Boston.
Terlepas dari kehilangan, kelalaian, dan kejadian-kejadian tragis yang dialaminya, Flynn menulis buku ini dengan tetap berfokus pada hubungan ayah-anak, mungkin karena kesejajaran dalam hidup mereka. Flynn juga seorang pecandu alkohol. Meskipun demikian, Flynn tetap skeptis terhadap kesombongan ayahnya dan tetap menyimpan kebencian itu di dalam dirinya.
Flynn kemudian secara diam-diam mencontoh kehidupan kakeknya. Melalui pekerjaannya di penampungan tunawisma, Flynn memperluas pelayanan dan bantuannya kepada orang-orang yang tidak dapat dia berikan kepada ayahnya:
“Kadang-kadang saya melihat ayah saya, berjalan di depan Gedung ini dan berlalu begitu saja pergi ke tempat lain. Saya bisa memberinya kunci, mengantarkannya untuk beristirahat di dalam kamar yang hangat. Tetapi saya tidak pernah melakukannya. Jika aku membiarkannya masuk, maka aku akan menjadi dia, batas-batas di antara kita akan hilang, sebagaimana jika saya mencoba menolong orang yang tenggelam, maka orang itu akan menarikku ke dalam air, dan begitulah akhirnya aku sendiri yang akan celaka.”
Entah buku ini harus disebut novel ataukah autobiografi, keduanya adalah benar. Sebagaimana Flynn yang menganalogikan jarak antara dia dan ayahnya, Flynn justru menghapus batas antara dirinya dan pelaku dalam cerita ini. Bahkan pembaca pun masih belum bisa memposisikan, apakah mereka hanya sebagai pembaca atau bahkan saksi yang menyaksikan langsung bagaimana kerasnya Flynn.
Prosa-puisi yang disusun secara tersirat pada masing-masing bab melahirkan teka-teki kehidupan yang justru membuat pembaca akan mempertanyakan manifestasi diri dalam kehidupan masing-masing.
Penulis : Heru Setyo Cahyono
Editor : Novania Wulandari
Illustrator : Mufardisah