Anak Muda Bisa, Tapi Susah Kalau Tidak Kaya

Dion Kristian Cheraz Pardede
Penulis Pucukmera.id


PUCUKMERA.ID – Kemiskinan dewasa ini dan sejak lama, telah menjadi batu penghalang seseorang untuk mengembangkan diri dan hidup layak. Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Menjadi orang miskin akan selalu menjadi kelemahan–entah bagaimanapun kita membela bahwa setiap orang punya determinasi atas nasibnya.

Sudahlah, abaikan dulu buku kiat-kiat sukses di lemari bukumu, saya tidak bisa berdebat soal apakah hal tersebut efektif atau tidak. Saya sampai sekarang masih bercokol di pencarian tempat di mana mereka mendapat ilham hingga bisa berbicara seyakin itu. Di tulisan ini, saya hanya akan memaparkan capaian nalar saya. Tentang bagaimana siswa miskin harus bergulat dengan siswa kaya. Semoga bisa menyadarkan sebagian kita yang dimabukkan dengan slogan “Milenial bisa!” atau “Yang muda yang berkarya” atau apalah itu.

Siswa miskin dan siswa kaya dalam kemampuan intelektual yang sama, cenderung akan tetap menciptakan ketimpangan di masa depannya. Hal ini disebabkan disparitas akses untuk meraih cita-cita. Kita buat ilustrasi sederhana; dua anak dengan kemampuan intelektual yang setara namun kondisi ekonomi yang kontras sama-sama pergi bersekolah. Anak yang satu perutnya sudah kenyang, bahkan minum susu setelah sarapan. Sementara si anak yang satunya bahkan tidak sarapan sebelum bersekolah. Tentu si anak yang kebutuhan perutnya sudah tercukupi akan memiliki performa yang lebih baik di ruang kelas.

Namun, ilustrasi di atas mengasumsikan kedua anak tersebut duduk di bangku sekolah yang sama (dalam hal kualitas). Padahal, hal tersebut hampir mustahil terwujud mengingat kontrasnya kualitas pendidikan formal yang dapat diterima. Kesenjangan kualitas pendidikan juga merupakan masalah lain yang melanggengkan kemiskinan lintas generasi. Semakin timpang pula ketika akses pendidikan formal yang jauh perbedaan kualitasnya ditunjang oleh pendidikan informal (misal: bimbingan belajar) yang tentu hanya bisa diakses oleh anak yang berasal dari keluarga berkecukupan.

Begitu seterusnya sampai si anak menginjak usia dewasa. Si miskin yang tak mampu memperoleh pendidikan berkualitas, bahkan harus berhenti sekolah. Ia tetap tinggal di kelas sosial lebih rendah dari anak yang berkecukupan. Inilah yang kita sebut kemiskinan lintas generasi.

Kemiskinan lintas generasi juga tergambar dalam Penelitian SMERU Institute yang menunjukkan bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung berpenghasilan lebih rendah ketika mereka dewasa. Penelitian yang telah dipublikasikan di makalah internasional Asian Development Bank (ADB) pada 2019 yang lalu menunjukkan pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87% lebih rendah dibanding orang tuanya. Menggunakan data yang diambil dari kehidupan rumah tangga di Indonesia atau yang disebut dengan Indonesian Family Life Survey (IFLS).

Ini menunjukkan bahwa anak-anak di keluarga miskin sangat berisiko mewarisi kemiskinan orang tuanya bahkan lebih miskin lagi dari keadaan masa kecilnya. Kemiskinan lintas generasi menandakan kualitas atau kemampuan memenuhi kebutuhan kehidupan anak-anak miskin tidak membaik dari kemampuan yang dimiliki orang tuanya. Di sinilah negara seharusnya hadir guna memberikan pendidikan dengan kualitas yang setara. Karena dengan pendidikan yang berkualitas anak miskin bisa untuk paling tidak memangkas marjin dengan anak kaya, dan memutus rantai kemiskinan lintas generasi.

Selama ini, kualitas pendidikan antara si miskin dan si kaya sangat besar ketimpangannya. Kesenjangan mutu pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya faktor sarana dan prasarana yang belum memadai, sumber daya manusia yang masih terbatas dan juga kurikulum yang belum siap untuk menyongsong masa yang akan datang. Anak miskin sulit membangun motivasi belajar dikarenakan sarana belajar seperti ruang kelas, bangku/meja selolah, dan fasilitas lain di sekolahnya sudah tidak layak pakai. Begitu pula kualitas tenaga pendidik yang tentu cenderung kalah dibanding sekolah-sekolah yang didominasi siswa dari keluarga menengah ke atas.

Guru sekolah di mana anak-anak miskin berada pun pastinya sulit membangun motivasi untuk mengajar, dan berpengaruh pula ke kualitas penyampaian materi pembelajaran kepada siswa. Berbeda jauh dengan sekolah di mana anak-anak dari keluarga menengah ke atas berada. Siswa memiliki motivasi besar dalam belajar karena sarana dan prasarana sekolah yang memadai dan juga pembekalan dari rumah yang mumpuni. Motivasi belajar mereka pun semakin tinggi seturut dengan tingginya motivasi sang guru dalam mengajar, karena latar belakang pendidikan yang lebih mumpuni, sarana dan prasarana sekolah yang mendukung, dan kesejahteraan yang lebih diperhatikan dibanding guru di sekolah anak-anak miskin di atas.

Dari hal-hal tersebut, penulis berkesimpulan bahwa kemiskinan lintas generasi yang juga melanggengkan kesenjangan sosial dan ekonomi turun temurun dapat diminimalisir dengan kualitas pendidikan yang merata. Tanggung jawab negara sudah saatnya bukan sekadar menggratiskan pendidikan dasar sampai menengah, namun juga turut memantau dan menjamin kualitas pendidikan yang diterima anak dari keluarga miskin tidak berbanding terlalu jauh dari mereka yang punya uang membayar sekolah swasta berkualitas. Sekolah negeri juga tidak seharusnya dilepaskan berkompetisi untuk meraih predikat sekolah unggulan, pemerintah harus mulai memutar otak untuk memastikan setiap sekolah negeri memiliki kualitas yang setara, dan tidak timpang antar satu sekolah dengan sekolah lainnya.

Berdasarkan laporan keuangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019, bahwa berdasarkan hasil penggabungan dari seluruh DIPA satker (319 satker) di lingkungan Kemendikbud jumlah pagu per 31 Desember 2019 adalah sebesar Rp 37 triliun dengan realisasi Rp 36,4 triliun. Baik berdasarkan pagu dan realisasi, anggaran terbesar dimiliki oleh Dirjen Dikdasmen (Pendidikan Dasar dan Menengah). Dengan pagu Rp 19 triliun, realisasi Rp 18,8 triliun. Maka dari itu, ke depan, Kemendikbud melalui Dirjen Dikdasmen perlu memaksimalkan anggaran ke pemerataan kualitas sekolah dasar dan menengah. Bukan hanya fokus pada bantuan tunai, melainkan pemantauan kualitas.

Kemiskinan lintas generasi juga harus mulai dihapuskan dengan pendekatan kultural bahwa anak bukan tanpa batasan usia untuk dipaksa bekerja. Eksploitasi anak harus ditekan bahkan dihapuskan jika ingin anak mampu memperoleh kehidupan yang layak di masa depan dan memangkas kesenjangan sosial dan ekonomi yang dialami orang tuanya pada generasi sebelumnya.

Eksploitasi anak dapat menyebabkan anak putus sekolah karena langgengnya pandangan kultural bahwa anak dilahirkan untuk menghasilkan uang, sehingga sekolah dianggap tidak dibutuhkan. Bagi yang tetap bersekolah juga berisiko untuk kehilangan motivasi belajar. Dalam hal ini ketika bekerja memakan waktu si anak sampai tak punya waktu bermain dan belajar. Keterlibatan anak-anak dalam aktivitas ekonomi mengganggu perkembangan fisik, psikologi, dan sosial anak yang terpaksa bekerja menghadapi hambatan dalam pengembangan kehidupan masa depannya.

Atribusi milenial yang sebenarnya hanya diwakilkan anak muda segudang privilege yang bahkan tidak butuh beasiswa untuk kuliah ke luar negeri hanya akan jadi siksaan bagi mereka yang bahkan sulit membayangkan bagaimana bentuk proyektor, atau laptop berlogo buah. Menyuruh mereka untuk balapan dengan orang-orang semacam itu tidak lebih baik dari masturbasi dengan jadwal tak teratur. Sama-sama merusak otak, namun lebih parah.

Ditambah perkataan putri mahkota pendiri bangsa yang meminta kontribusi anak muda dan memukul ratanya tanpa mempertimbangkan sudah sejauh mana negara memastikan mereka mampu bergulat dengan milenial lain dalam kompetisi yang sudah dibeli oleh orang tua kompetitornya.

Pada akhirnya, penghapusan eksploitasi dan pemerataan kualitas pendidikan adalah dua hal yang harus berkesinambungan. Dengan hapusnya eksploitasi, anak akan punya cukup waktu untuk belajar, bermain, dan mengembangkan diri termasuk untuk bersekolah. Tentu untuk bisa mengakses pendidikan di sekolah harus disertai inisiasi pemerintah untuk menyekolahkan mereka dan memenuhi kebutuhan pendidikannya.

Keluarga miskin tentu punya masalah dalam memenuhi kebutuhan dasar, sehingga pemerintah harus hadir di tengah ketidaksanggupan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan pendidikan. Dan yang terakhir dan tidak bisa diabaikan, sekolah gratis pun harus diperhatikan kualitasnya baik dari segi sarana dan prasarana, kualitas dan kesejahteraan tenaga pendidik.

Sulit untuk anak-anak miskin bermimpi menjadi stafsus milenial, anggota DPR, atau wakil menteri saat tahu bahwa orang-orang muda yang duduk di sana adalah anak dari bupati, anak anggota DPR, atau bahkan founder MNC. Sulit. Memang bukan tidak mungkin, namun tentu Usain Bolt sendiri akan kewalahan jika lawannya start hanya kurang dari sepuluh meter dari garis finish.

Jadi, anak muda bisa?


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment