Ronaa Nisa’us

Penulis Pucukmera.id

PUCUKMERA.ID – Betapa menyenangkan melihat anak-anak bermain kesana dan kemari. Melihat tawa yang riang dan sesekali menjaili teman sebayanya. Namun, lagi-lagi masih ditemukan kasus terhadap anak di masyarakat. Bahkan, ada yang merasa tidak berdosa ketika mengabaikan psikologis anak dari korban pelecehan seksual.

Siapa yang tidak miris membaca berita soal pemerkosaan yang menimpa bocah 14 tahun di Magetan pertengahan bulan lalu. Ditambah lagi kasus itu ditutup dengan damai. Konon, sudah dimediasi oleh pihak Desa setempat. Pelaku hanya diminta menyumbangkan material untuk kebutuhan pembangunan Desa. Kakak bocah yang sempat memergoki adiknya diperkosa mengaku tidak terima. Sebab, semenjak kejadian tersebut adiknya mengurung diri di kamar. Psikologis adiknya sudah terkena.

Kakak korban sempat mendapat ancaman dari pihak desa untuk menyetujui jalan damai tersebut. Namun, dia tetap berani melapor kepada pihak kepolisian. Akhirnya, polisi turun tangan dan mendampingi kasus tersebut meskipun belum mendapatkan laporan resminya. Sebab, pihaknya juga merasa bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa korban.

Situs alodokter.com menghimpun beberapa dampak psikologis yang akan menimpa korban perkosaan. Di antaranya menyalahkan diri sendiri, gangguan mental, dan keinginan untuk bunuh diri. Menyalahkan diri sendiri biasanya dialami korban karena merasa gagal dalam menjaga tubuh. Misal, dia akan menyesal karena memakai pakaian yang tidak menutup. Bahkan, dia juga cenderung malu dan takut untuk bercerita ke teman atau keluarganya. Sebab, ada dampak sosial yang harus diterimanya.

Gangguan mental yang akan menimpanya yaitu depresi, post-traumatic stress disorder (PTSD) dan gangguan kecemasan. Biasanya, mereka akan menyendiri dan menolak bertemu dengan banyak orang. Bahkan, ada yang jadi pendiam dan pemarah. Fase depresi seseorang maksimal dua minggu. Jika sampai berkepanjangan, maka mereka akan berfikir bahwa tidak ada gunanya lagi hidup. Setelah itu, mereka akan mencari cara bagaimana mengakhiri hidupnya (bunuh diri, Red).

Membaca kisah bocah 14 tahun itu, saya langsung teringat film 27 Steps of May. Di film itu, dikisahkan seorang siswi bernama May diperkosa oleh beberapa orang sepulang dari sekolah. Dia mengalami trauma mendalam sampai lidahnya tercekat dan menarik dirinya dari kehidupan selama delapan tahun. Di film itu juga menunjukkan kejadian May menyayat tangannya (self-injury). Bahkan, May langsung teringat kejadian pemerkosaan itu ketika dipegang tangannya oleh orang lain. Siapa pun yang menontonnya bakal merasakan kepedihan yang dialami May bertahun-tahun.

Beberapa kali saya mengobrol dengan para aktivis gender mengenai kasus di atas. Pelaku di atas adalah bentuk disorientasi seksual. Yakni, aktivitas seksual yang ditempuh oleh seseorang dengan tidak wajar guna mendapatkan kenikmatan seksual. Biasanya, mereka menggunakan objek seks dengan cara tidak wajar. Salah satunya yang memerkosa gadis di bawah umur. Sebab, pelaku di atas memang sudah pisah ranjang dengan istrinya sebulan sebelum kejadian.

Disorientasi seksual ini masih menjamur di masyarakat. Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo, sekaligus aktivis gender, menyebut mereka juga korban dari lingkungan yang salah. Mungkin, dulunya mereka juga menerima perlakuan yang sama atau melihat dengan kepala sendiri perlakuan tersebut. Maka, otomatis pengalaman tersebut direkamnya dan memberontak ketika sudah besar. Beliau juga mengatakan pelaku juga butuh diberi wewenang untuk menemui psikolog agar mengetahui penyebab perilakunya.

Salah satu aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Women Crisis Center di Ponorogo mengatakan kita tidak bisa membendung atau menghentikan para pelaku. Sebab, perlakuan mereka sering tidak terlihat dan tidak terbatas saking banyaknya. Salah satu cara yang bisa kita lakukan yaitu bersama-sama membangun kekuatan satu sama lainnya. Tidak hanya dari kaum perempuan saja. Namun, semua elemen yang peduli terhadap ketimpangan sosial di masyarakat. Saling mendukung salah satunya. Selain itu, mengajarkan satu dengan perempuan yang lain tentang hak tubuh.

Salah satu artikel di Jurnal Perempuan menyebut bahwa setiap manusia memiliki hak atas tubuhnya sendiri. Sebab, tubuh itu milik pribadi atau privat dan bukan milik publik. Namun, karena tubuh itu bisa jadi ladang ekonomi karena dinilai produktif, kata Foucault, maka kebanyakan tubuh perempuan sudah dikuasai oleh penguasa atau pemilik modal. Maka, perempuan harus berani mengatakan hak atas tubuhnya sendiri.

Beberapa kali Pustaka Gerilya Ponorogo mengadakan acara untuk anak-anak terkait otoritas tubuh. Mereka sangat lihai memberi pelajaran disertai permainan agar anak-anak mudah menangkap maksudnya. Salah satunya yaitu menunjukkan bagian mana saja yang boleh atau tidak boleh dipegang. Seringkali, memang, anak-anak belum memahami hak atas tubuhnya sendiri. Maka, pengenalan seperti ini bisa jadi solusi agar mereka berani untuk mengatakan ‘tidak’.

Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.