Azhar Syahida
Redaktur Pucukmera.id
PUCUKMERA.ID – Suatu waktu, pada Juli 1968, Majalah Life yang berpusat di Kota New York, meluncurkan kover yang mengusik pikiran seorang anak kecil. Anak itu berusia 13. Sampul yang merisaukan tersebut bergambar seorang bocah yang tampak begitu lapar. Bocah yang menjadi kover majalah itu konon berasal dari Biafra, sebuah republik kecil di Afrika Barat.
Anak kecil yang melihat sampul majalah itu lahir di San Fransisco. Ia, ketika melihat kover majalah itu, seketika gelisah. Marah. Tapi, kemudian ia menyimpan sampul majalah tersebut. Ia menunggu saat yang tepat untuk melakukan sesuatu.
Hingga, pada suatu minggu, ia membawa halaman sampul majalah yang sudah ia simpan itu ke sebuah gereja Lutheran, tempat ia dan ayah angkatnya biasa beribadah. Bocah kecil yang baru berusia 13 itu, menunggu momen yang pas. Ia menunjukkan gelagat yang menggebu, ingin lekas berbicara dengan pastor yang biasa memimpin ibadah di geraja kecil dekat rumahnya. Kesempatan itu tiba, dan ia benar-benar tidak menyiakannya.
Di depan pastor paruh baya yang berwajah ramah, ia membuka perbincangan. Sebuah perbincangan yang di kemudian hari mengubah cara hidupnya.
“Jika aku mengangkat salah satu dari lima jemariku ini,” ia membuka percakapan sembari menunjukkan kelima jemarinya kepada Bapak Pastor, “Apakah Tuhan sebetulnya sudah tahu jemari mana yang akan kuangkat?”
“Ya, tentu Tuhan sudah tahu itu, Nak.”
Bocah itu lantas mengeluarkan sampul majalah Life yang ia simpan di saku celananya, yang ia siapkan sedari rumah. Kepalanya telanjur penuh dengan kecamuk. Ia tampak emosial di depan pastor yang selalu menceritakan kebaikan Tuhan itu.
“Baik.” katanya. “Sekarang…” ia terlihat mengatur nafas. “Apakah Tuhan juga mengetahui soal kelaparan anak ini? Dan, apa yang terjadi kemudian dengan anak ini?” ketika bertanya dan memperlihatkan sampul majalah yang ia bawa, air matanya berada di tepian kelopak mata. Tak terbendung. Ia merasakan campuran amarah yang membuncah.
Pastor itu tetap tenang, meski sedikit kaget menerima pertanyaan tersebut. Apalagi pertanyaan itu datang dari seorang anak berusia 13! Dengan sedikit menghela napas, melipat lutut ke lantai agar sejajar dengannya, Bapak Pastor menjawab dengan tenang, “Nak, aku tahu kau belum sepenuhnya bisa memahami semua ini. Tapi, ya, aku harus jujur, Tuhan tahu kelaparan yang diderita anak itu.”
Sejak saat itu, ia tak pernah mau ke gereja. Tak pernah lagi mau beribadah di setiap Minggu. Ia tak lain adalah Steve Jobs, seorang brilian di bidang bisnis dan otak di balik produk Apple.
Saya membaca cerita Steve kecil di buku biografinya, Steve Jobs, yang ditulis oleh Walter Isaacson, seorang jurnalis dan professor hebat asal Amerika itu.
Pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Steve kecil itu, tentu menyadarkan kita tentang satu hal: agama sejatinya hidup di dalam masyarakat dan menyejarah dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Tentu, sang pastor kesulitan untuk menjelaskan secara kompleks pertanyaan Steve kecil, yang untuk berbicara bahwa bukan Tuhanlah yang tidak adil, melainkan manusia yang mengaku beragamalah yang tidak adil. Tentu ungkapan demikian sulit diterangkan. Sulit diterima. Mungkin juga karena seorang anak kecil belum mengenal bahwa banyak sekali umat beragama yang tidak sepenuhnya baik. Tidak sepenuhnya menaati pesan-pesan keagamaan yang meniscayakan perlunya memanusiakan manusia. Bukan sebaliknya.
Toh, hal-hal seperti itu, di kemudian hari, akhirnya juga dijumpai oleh Steve sendiri ketika ia memimpin perusahaan besar yang hingga sekarang tetap eksis. Belakangan, menurut catatan Isaacson, Steve lebih memilih jalan spiritual Budha.
Cerita emosional yang dirasakan oleh Steve kecil, seolah menggambarkan bahwa seorang anak kecil, selalu mengharapkan kebaikan-kebaikan yang harusnya muncul sebagai rasa kemanusiaan yang diceritakan, dikhotbahkan, dan dicatatkan dalam orasi-orasi keagamaan para pemuka agama. Salah satunya, oleh pastor gereja Lutheran yang tiap pekan ia kunjungi. Harusnya, pesan itu bersemayam dalam diri manusia beragama. Kisah kebaikan mewujud dalam tingkah laku, tindak tanduk manusia.
Namun demikian, semua itu, dalam dunia yang sulit dijelaskan ini, seperti sukar terjadi. Memang, kita selalu hidup dalam dunia yang tidak pernah ideal. Dunia yang tidak semua orang mau berusaha menjadi baik tapi mau menerima kenikmatan surga yang dijanjikan. Persis, seperti banyak orang yang mau menikmati makanan lezat tanpa mau menyiapkan proses memasaknya. Em, tapi, mungkin, perumpamaan masak-memasak ini tidak sepenuhnya tepat. Sebab, berbuat baik pada dasarnya tidak rumit. Hanya butuh kemauan.
Jika agama hidup dalam bentuk kebaikan-kebaikan yang diciptakan oleh manusia, agama itu sendiri adalah untuk masyarakat. Dengan kata lain, agama diperuntukkan bagi kemaslahatan bersama. Untuk kepentingan khalayak ramai. Yang itu juga berarti agama adalah simpul pembangunan itu sendiri.
Beberapa di antara kita barangkali masih ingat kisah-kisah mengharukan yang hidup di Baghdad, yakni ketika agama Islam hidup dalam gemerlap ilmu pengetahuan. Agama benar-benar bernyawa. Menerangi kegelapan dunia yang penuh silat lidah dan jatuh menjatuhkan antar-bangsa, ketika itu.
Islam, sebagai salah satu agama yang dipahami sebagai sumber cahaya kebaikan, ketika itu, menjadi inspirasi masyarakat. Itulah abad-abad Baitul Hikmah yang memang akan selalu dicatat dalam sejarah sebagai catatan emas, bahwa Islam mampu menyembul sebagai agama pembangunan. Belakangan, kemudian, barat juga menunjukkan hal yang sama, ketika Calvinisme menjadi inspirasi bagi orang-orang Eropa untuk bekerja dan membangun etos kerja yang profesional.
Namun, semua itu adalah kisah masa lampau, bagaimana sekarang?
Kita masih ada harapan, tapi, saya kira, kita menghadapi penyempitan makna agama.
Dalam benak saya, kini, agama cenderung dianggap sebagai hukum yang menghukumi: salah dan benar, baik dan jahat, surga atau neraka. Padahal, jika kita melihat agama pada masa lampau, agama adalah inspirasi pembangunan masyarakat dalam konteks yang luas.
Selain itu, jika kita mau bersabar membaca dan menyelami literatur klasik, di dalam agama jugalah terdapat aspek spiritual, transendensi, kemenyerahan manusia kepada Tuhan, dan pengakuan atas keberadaan Tuhan. Di dalam Islam, mungkin, inilah yang disebut sebagai akidah.
Kemudian, kita juga mengenal akhlak. Sebuah ajaran tentang tindak tanduk manusia kepada sesama makhluk Tuhan lainnya. Dan, terakhir, kita mengenal aturan-aturan, atau syariat.
Boleh jadi, agama semakin redup belakangan ini oleh karena kita cenderung sempit memaknai agama. Padahal, begitu luasnya lautan hikmah yang bisa disediakan oleh kehebatan agama jika kita menggunakan pemahaman yang luas, luwes, dan lapang dada. Juga, mungkin, persis seperti pernyataan Steve ketiga ia dewasa, yang juga dicatat oleh Walter Isaacson, “Agama lebih baik diterima sebagai cerita-cerita spiritual ketimbang dogma.”
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.