Hendy Pratama
Seorang esais dan cerpenis asal Madiun
Esai ini bermula dari kegelisahan saya saat menonton salah satu acara TV. Biasanya saya menonton TV tatkala suntuk menulis. Niatnya mau cari hiburan, sekadar ketawa atau mengistirahatkan badan. Namun, acara-acara yang tayang justru membosankan dan sama sekali tidak menghibur. Alhasil, esai ini pun terpaksa saya tulis.
Sejujurnya, saya tak habis pikir sama produser atau direksi-direksi, pemimpin progam, tim-tim kreatif, dan segala kru yang berkecimpung di dalamnya, mengapa tidak menyajikan tayangan televisi yang berkualitas?
Apabila kita ulik lebih dalam, acara-acara TV Indonesia—yang merata di setiap channel—melulu begitu saja; FTV bernuansa picisan dan religi-religian yang mudah sekali ditebak ujungnya, Kisah-kisah Azab, sinetron Elang, Tukang Haji Naik Bubur, dan spesies-spesies semacamnya. Ada, sih, yang bagus. Sayangnya hanya sekali-kali tayang, habis itu tamat. Atau, hanya tayang pas momentumnya saja.
Saya sama sekali tidak suka sinetron. Barangkali, saya akan suka apabila jalan ceritanya fresh, ada pembaharuan dari sebelum-sebelumnya, dan anti-mainstream. Pokoknya gak seperti tukang cilok jatuh cinta—yang jika ditelanjangi, rumusnya akan seperti ini: tukang cilok punya pacar – pacarnya matre dan doyan selingkuh – tukang cilok dihina-hina – ketahuan pacarnya selingkuh – putus – kenalan cewek lain – lalu mereka jadian – mantan pacarnya minta balikan pas tukang cilok sukses. Heuuhh.
Formula macam itu digunakan untuk seluruh sinetron. Jikalau ada pembaharuan, paling-paling hanya profesi tokoh utamanya belaka. Bila tidak begitu, konfliknya dan klimaksnya dibikin agak beda. Namun, jalan ceritanya tetap senada.
Parahnya lagi, jam tayangnya itu ngeselin. Mereka menayangkannya pada jam-jam di mana orang-orang sedang luang-luangnya. Misalnya, FTV tayang pada pagi hari menjelang siang sekitar jam sepuluh sampai jam dua belasan. Itu, kan, waktu di mana ibu saya sedang istirahat setelah nyuci baju atau bersih-bersih rumah. Malam harinya, kira-kira jam tujuh sampai jam sembilan, sinetron itu muncul lagi. Tentu saja itu merupakan waktu paling ajib buat leha-leha, orang-orang pada cari hiburan.
Lantas, apabila dihadapankan dengan acara-acara TV yang begitu-begitu saja, apakah hal itu salah? Bolehkah kita mendatangi kantor stasiun televisi, kemudian kita membakar ban dan membawa segala macam protes dan tuntutan?
Begini, Lur. Kita tidak punya hak untuk menuntut mereka—kendatipun mereka juga ngeselin. Stasiun televisi pada umumnya bersifat komersial. Tidak ada produsen apabila tiada konsumen. Mereka berupaya mengejar rating dengan menjangkau apa saja yang dibutuhkan oleh pelanggan (dalam artian “kita”). Sebuah hal yang wajar bila acara TV kebanyakan sinetron. Lha wong yang dibutuhkan masyarakat kita memang begitu. Bukan dibutuhkan, sih. Lebih tepatnya “selera” atau “keinginan”.
Keinginan selalu berbanding lurus dengan produk. Makin banyak keinginan, kian banyak pula produk yang diperjualbelikan. Jajaran direksi atau istilah gampanya “para kru” tentu sudah cermat menganalisis itu semua. Jadi, apa yang kita tonton, apa yang kerap kali ditayangkan oleh stasiun televisi, merupakan perwujudan dari apa yang kebanyakan masyarakat kita inginkan. Rata-rata masyarakat menyukai sinetron dan hal itu menjadi sasaran empuk bagi penyedia tayangan TV.
Menilik fenomena di atas, sepertinya jika menyalahkan channel-channel televisi, rasa-rasanya tidak tepat juga. Mungkin terdengar paradoks. Yah, mau gimana lagi, masyarakat kita cenderung menyukai tayangan-tayangan demikian.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa masyakarat kita tidak terdidik. Selain tak memiliki data yang kuat, menyalahkan orang lain bukanlah solusi untuk memecahkan masalah. Apalagi menyalahkan banyak orang. Hmm… mungkin, agar esai ini kelihatan ada gagasannya, saya akan mencoba membandingkan kualitas acara TV kita dengan stasiun televisi negara-negara maju aja kali, yaa. Ide bagus ~
Saya ingin membahas yang sederhana-sederhana saja, deh. Contohnya, acara kartun di Amerika Serikat. Kartun-kartun di sana tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik. ‘The Simpson’, yang kadang kala mengandung pesan satire dan kritik sosial terhadap pemerintah dan digadang-gadang bisa menerawang masa depan (pasti kita tahu soal sosok presiden Donald Trump yang lebih dulu ada dalam kartun tersebut, kan?). Saya, sih, menyukai The Simpson karena joke-nya juga cerdas.
Masih banyak, sih, kartun-kartun bagus dan serial anak-anak yang disukai oleh semua golongan. Pasti di antara kita pernah nonton ‘Sesame Street, The Flintstones, The Powerpuff Girls, SpongeBob SquarePants, Hey Arnold, Blue’s Clues, Dora The Explorer, Jimmy Neutrons’, dan masih banyak lagi dan tidak akan cukup apabila saya tuliskan di sini. Itu pun baru dari segi kartun dan serial anak-anak.
Saya memilih segmen ini lantaran sangat mudah digunakan sebagai pembanding. Tentu karena kreativitasnya (ya, selain saya tak menemui kartun apa yang diciptaan oleh negara kita, yang dapat sekadar “sejajar” dengan sejumlah kartun di atas). Saya pikir, acara-acara itu cukup menghibur dan edukasional. Mereka “mencekoki” anak-anak dalam rangka mendukung pembangunan karakter dan budaya.
Selain itu, sebenarnya ada juga acara-acara TV yang senada. Bukan senada juga, sih, tepatnya: Negara kita yang mengadopsi progam acara itu. Misalnya, ‘American Idol, The Voice, America’s Got Talent, The Dr. Oz Show, Running Man, Big Brother, Lipsync Battle’, dan lain-lain. Bahkan, bukan mengadopsi lagi, sebagian orang pernah menganggap Indonesia memplagiat acara TV luar negeri. Namun, biarkanlah, ya. Kita tidak sedang membahas itu. Hmm.
Saya sendiri sebenarnya lebih suka nonton bola daripada acara-acara lainnya. Jadi, selama pertandingan bola belum mulai, saya tidak tertarik untuk meraih remote control lantas menyalakan layar televisi. Biarkan acara-acara sinetron ditonton oleh mereka yang menginginkannya. Bakal balik lagi ke masalah selera, kan? Terakhir, saya ingin menutup esai ini dengan meminjam kata-kata bijak Charles Lamb: “Secara teoritis saya meyakini bahwa hidup harus dinikmati, tapi kenyataannya justru sebaliknya, karena tak semuanya mudah dinikmati.” Bye, bye.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.
1 Comment
binance Sign Up
Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good.