PUCUKMERA – Dirgahayu Rapublik Indonesia yang ke-73 tahun, euforia kemerdekaan sudah mulai disambut dengan suka dan duka cita yang mendalam oleh seluruh lapisan masyarakat dari Sabang sampai Merauke, dari pulau Miangas sampai daratan Rote. Tahun ini hari kemerdekaan dipenuhi oleh beberapa moment emosional yang memiliki gejolak tersendiri bagi setiap individu atau kelompok yang merayakannya.
Momentum kemerdekaan ini seakan sudah menjadi hajatan setiap tahunnya di seluruh pelosok nusantara, dari desa sampai perkotaan turut meramaikan menyambut hari kemerdekaan dengan beraneka ragam jenis kegiatan salah satunya perlombaan-perlombaan, tasyakuran, pengajian kebangsaan dan kegiatan lain seperti menghiasi setiap sudu jalan. Turut memeriahkan hari sakral ini, Indonesia juga dihadiahkan kado kemenangan Timnas Junior U-16 dalam laga bergengsi se Asia Tenggara.
Lantas pantaskah sambutan suka ini dirayakan sedangkan tubuh Indonesia yang lain sedang terluka dan berduka, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sekitar 387 jiwa yang saat ini telah meninggal dunia dan 13.000 lebih jiwa terluka bahkan ribuan lagi harus diungsikan oleh sebab gempa yang melanda bagian Nusa Tenggara Barat.
Tak hanya itu, berbagai problematika yang terjadi di masyarakat berhasil menjauhkan Indonesia dari kata ‘Merdeka’. Walaupun sejak 73 tahun yang lalu, bangsa yang terbentuk oleh gugusan pulau dengan kekayaan alamnya yang melimpah telah berhasil memproklamirkan kemerdekaanya dari jeratan kolonial yang sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya, sejak dibacakannya naskah proklamasi oleh sang proklamator kita Ir. Soekarno bertepatan pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara kasat mata gugusan katulistiwa mampu memoles fisik menjadi lebih menjanjikan, tidak ada lagi Romusha dan kerja rodi.
Indonesia dengan wajah baru dalam iming-iming ‘reformasi’ sejak 1998 hanya mampu merubah ibu kota dari kondisi tradisionalisme menjadi lebih modern, seharusnya sejak itu kondisi Indonesia menjadi lebih dewasa, lebih mandiri dan menjadi lebih berwibawa di hadapan Negara-negara lain bukan sebaliknya menjadi lemah oleh beberapa tawaran-tawaran menggiurkan dan pada akhirnya menjadi kerusakan didalam tubuh Indonesia yang indah ini.
Kamuflase Pembangunan dan Legalisasi Asing
Pesta demokrasi yang sudah jauh-jauh hari dipersiapkan oleh kalangan elit pemerintah dan para politisi sudah memasuki babak peperangan untuk saling memperebutkan singgasana kekuasaan tertinggi nusantara, kondisi yang syarat akan kepentingan ini semakin memberi titik terang bahwa tuduhan-tuduhan demokrasi sebagai biang dari segala bentuk penjajahan model baru (New-Imprealisme) seakan-akan menjadi kutukan yang menjadi nyata, kisah-kisah penjarahan kekayaan alam di bumi Indonesia mustahil terjadi jika tidak ada hukum yang melegitimasinya. Legitimasi hukum yang muncul semakin memperkuat para asing untuk menjarah kekayaan alam negeri kita, lagi-lagi diiniasi oleh lahirnya sistem demokrasi pasca kemerdekaan dengan alih-alih mengatasnamakan rakyat, peran demokrasi justru sebaliknya menyiksa rakyat, memuluskan jalan kepentingan para kapitalis yang kembali membuat rakyat merasakan penjajahan walau dengan wajah yang berbeda.
Berdasarkan hasil laporan Badan Intelejen Negara (BIN), sekitar 76 Undang-Undang dan rancangan undang-undang yang mengakomodir kepentingan asing dan hal itu menjadikan hampir disetiap bagian sektor sumber daya alam dan energi dikuasai oleh asing. Di pertegas oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa asing telah menguasai 70% pertambangan migas yang diawali oleh lahirnya UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas yang disahkan oleh pemerintahan Megawati, 75% tambang batu bara, nikel dan timah. Asing juga berhasil menguasai 85% tambang tembaga dan emas serta 50% perkebunan sawit.
Perlu kita sadari bersama sampai saat ini adalah bahwa kenyataan dengan alih-alih pembangunan dalam naungan demokrasi bukan membawa negara ini menjadi lebih sejahtera justru semakin membawa negara kita jauh dari hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya. Oleh karena itu janganlah dulu mudah tertipu dengan slogan ‘NKRI harga mati’ namun pada kenyataannya mereka yang mengaku berjiwa nasionalisme tinggi masih ciut dan tunduk oleh kepentingan serta tidak bisa berbuat apa-apa ketika melihat kekayaan alam sendiri dikeruk habis oleh tikus asing.
Tindakan pemerintah seharusnya memikirkan secara matang terhadap celah-celah kecil yang berpotensi konflik dan melahirkan gejolak persoalan berkaitan dengan regulasi hukum untuk diterapkan. Langkah strategis yang seharusnya diambil harus sejalan dengan cita-cita bangsa yang tertuang dalam Undang-Undang sebenarnya. Melindungi segala apa yang dimiliki oleh negara beserta isinya untuk menjamin keberlangsungan hidup seluruh rakyat Indonesia.
Refleksi hari kemerdekaan, patut pula kita tanamkan sepenuhnya kepada seluruh warga negara, bukan sekedar seremonial upacara semata, agar cita-cita dan harapan bangsa tidak hanya mampu di implementasikan melalui kegiatan tahunan yang tergolong miris. Merdeka bukan sekedar teriakan, melainkan keberhasilan bersama dalam membebaskan jeratan penindasan dan penghambaan yang mengekang.
Kesejahteraan Masih Menjadi Misteri
Anis Baswedan dalam tulisannya mengatakan, “Saat Republik ini didirikan semua turun tangan menegakkan Merah-Putih, menggulung kolonialisme”. Ada yang menyumbangkan tenaga, harta dan bahkan banyak sumbangkan nyawa. Mereka menegakkan bendera tanpa meminta syarat agar anak cucunya nanti lebih sejahtera dari yang lain. Semua menyadari adanya janji bersama untuk menggelar kesejahteraan bagi semua. Itu bukanlah sekadar cita-cita, kini bendera itu sudah tegak, semakin tinggi. Dan dibawah kibarannya janji kemerdekaan harus dilunasi.
Seharusnya kondisi yang terjadi hari menjadi kritikan keras untuk para pemangku jabatan di kalangan pemerintah, lihatlah bagaimana keadaan rakyat yang kian waktu semakin nampak kesenjangan, timpangnya kesejahteraan, sangat kontras dan jelas arogansi si kaya dan tertindasnya si miskin.
Perilaku kesewenang-wenangan pemilik modal terjadi dimana-mana salah satunya yang terjadi di bumi Kulon Progo, konflik agraria dan penggusuran paksa dilakukan dengan kekerasan tanpa berkeperimanusiaan. Kurang lebih 11.000 jiwa diatas 600 hektar lahan tang terdiri dari ratusan kepala keluarga harus kehilangan tempat tinggal serta sumber penghasilan yang sudah dijalani turun temurun sejak puluhan tahun lamanya.
Perihal kemiskinan masih menjadi tugas dan tidak pernah terlepas dari sorotan masyarakat. Badan Pusat Statistika (BPS) mencatat sejak tahun 1999 , angka kemiskinan masih tergolong tinggi. Angka kemiskinan pada Maret 2018 sebesar 9,82% (25,95 juta orang) walaupun berkurang dari tahun sebelumnya pada September 2017 yang memiliki angka kemiskinan 10,12% (26,58 juta orang).
Seharusnya perlu kita cermati bersama dalam permasalahan ini adalah penurunan angka kemiskinan di Indonesia masih jauh lebih lambat dengan negara-negara lain seperti halnya China, Vietnam dan Kamboja, tidak berati penduduk yang berada diatas garis kemiskinan kesejahteraannya sudah memadai. Kondisi ini sangatlah ekstrim, berbanding terbalik dengan melimpahnya sumber kekayaan yang seharusnya mampu menjauhkan Indonesia dari kemiskinan dan mampu mencapai kesejahteraan yang dicita-citakan.
Seandainya pemerintah sekarang benar-benar mendengar teriakan Bung Karno waktu itu “Tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia Merdeka”. Kemerdekaan adalah hak bagi seluruh warga negara Indonesia salah satunya merdeka dari kesenjangan, merdeka dari kemiskinan. Maka sudah sepatutnya setelah penjajahan dibumi nusantara dihapuskan, Indonesia mampu berdiri tegak didepan pintu kemakmuran.
Oleh : Fahmi Rizal
Illustrator/editor : Mufardisah