Didin Mujahidin
Redaktur Pucukmera.id
@cakdiin
Kata “perjuangan” seolah mengajak kita kembali pada masa penjajahan; tentang senjata, pertempuran, pertumpahan darah, kemenangan dan kekuasaan.
Namun, perjuangan bukan lagi tentang senjata dan darah. Perjuangan, lebih tentang melawan diri sendiri, musuh besar bagi mimpi-mimpi. Banyak yang bilang, hidup adalah perjuangan. Jika hari ini belum berhasil, esok masih ada waktu.
Setiap hari berbagai kata bijak dan motivasi terlantun dari bibir-bibir manusia. Membara seperti api, padam menyisakan perih. Kelabunya solusi serta angan yang terlampau tinggi.
Kenyataannya, berbagai peristiwa pedih dalam hidup banyak terjadi. Menemui dosen untuk bimbingan skripsi saja susah, apalagi sidang skripsi. Mungkin, saat angka semester berevolusi menjadi 2-digit baru menjadi mudah. Juga, si Doi yang mulai bosan dengan gombalan.
Perjuangan masih terus berlanjut setelah lulus dari perguruan tertinggi. Dihadapkan pilihan yang sangat mainstream, membuat tenaga banyak terbuang. Pilihannya hanya: kuliah lagi, kerja, membuat lapangan kerja, atau menikah. Nggak ada habisnya. Alih-alih ingin membuat lapangan kerja dengan mulai berwirausaha. Tidak. Semua itu tak mudah.
Banyak pahit manis yang begitu terasa. Saya mencoba membangun tim, menanamkan sebuah visi, merangkai mimpi dan berjanji berjuang bersama. Saat masih awal dan progres lancar, semua baik-baik saja. Paceklik datang mengubah semuanya. Arah berputar seperti jarum jam. Siapa yang benar-benar setia pada kegagalan? Sepertinya tak ada. Semua memimpikan kesukseskan dan melupakan kegagalan. Musim kegalauan datang.
Satu mimpi besar jatuh bukan berarti mimpi yang lain naik dan bisa diraih. Sebuah peribahasa benar adanya, sudah jatuh tertimpan tangga. Sudah datang masa kebingungan ditinggal nikah pula, miris nasib, ni. Namun, itulah perjuang.
Tenang, tak ada perjuangan yang sia-sia. Tapi, waktu tak pernah kembali. Perjuangan dapat dimulai kembali tak dengan waktu.
Hidup ini indah, bagaimana dengan perjuangan, masihkah indah? Seperti halnya dirimu, kita semua para perencana dan makhluk yang senantiasa berharap. Bermimpilah setinggi mungkin, jika jatuh biar tak jauh dari ketinggian itu.
Masih perlukah membuat rencana, jika hasil tak selalu sesuai? Merencanakan kegagalan atau gagal merencankan, atau lebih baik tidak merencanakan sama sekali? Mengalir saja seperti air di sungai?
Dunia ini panggung sandiwara. Dalam sebuah lirik lagu ERK, “Seorang lelaki melintas menyimpan malu.” Ketegaran dan kegagahan selalu tampak. Berharap orang mengerti isi hati. Remuk, hancur berkeping-keping. Menyisakan duri dan sepi. Lelah, sampai kapan bersandiwara?
Setiap ujung dari sebuah perjuangan, akan berlabuh pada kepasrahan terhadap kehendak Tuhan. Sebuah kegelisahan dan putus asa pada kehidupan, atau ketidakpercayaan akan rencana Tuhan. Itu beda tipis. Berserah pada tuhanlah bukti percaya atas semua kehendaknya.
Kekecewaan tak jarang muncul sebagai kegundahan dari sebuah kegagalan. Perlu keikhlasan untuk menghadapi kegagalan, berjuang menangkis rasa kecewa, sebagai bekal untuk mencegah penyakit jiwa. Tenang, hidup masih panjang, masih banyak yang harus diperjuangakan. Keikhlasan tak perlu dikabarkan.
Lelah berpura-pura dan bersandiwara. Mundur satu langkah. Sandarkan punggung pada tembok yang kokoh, agar beban hidup terurai. Jika masih berat, coba bersujudlah dihadapan Tuhan, berfikir ulang dan mencari petunjuk. Mundur atau mulai untuk berjuang kembali. Melangkah tertatih-tatih dalam sunyi sampai nanti.
Teringat kata di visual art Farid Stevy, seorang musisi hebat asal Jogja, “Young and sepertinya failed”. Masa muda datang hanya sekali, kita gagal dan kemudian diulang lagi, atau berjuang untuk tidak gagal kembali.
Hidup dan perjuangan sudah mendarah daging. Setiap proses kehidupan memerlukan perjuangan, perjuangan untuk merubah sebuah kehidupan.
Semenjak dilahirkan di tanah jawa kita diajarkan untuk hidup “Neriman lan legowo.” Terkadang saking neriman-nya, saat diapusi masih saja legowo. Sifat ini menjadi penyejuk hidup berbangsa dan bernegara. Peredam konflik meski hati merintik.
Dalam hidup, yang terpenting adalah yakin terhadap apa yang dilakukan. Yakin bahwa itu akan berhasil. Yakin jika itu juga akan gagal. Dan lantas menerimanya. Segeralah sadar jika yang dilakukan telah gagal. Mencoba mencari jalan lain meski sudah kesekian kalinya. Setia pada perjalanan, abadi perjuangan.
Selagi dalam hidup masih punya pegangan dan keyakinan. Tetap fokus terhadap apa yang harus diwujudkan. Setia pada tujuan! Saat kita jatuh, tujuan besar itulah yang akan membuat kita bangkit kembali. Mengobati sakit dan luka perih.
Sukses di usia muda memang idaman. Tapi, bukan berarti mereka yang sukses di usia senja, gagal dalam berkarir di masa muda. Setiap rencana punya pemerannya masing-masing. Setiap peristiwa sudah diatur oleh sutradara kehidupan.
“Urip iku mung sawang sinawang.” Hidup itu melihat dan dilihat. Belum semua dari sisi kehidupan yang terlihat. Menjadi manusia tidaklah susah jika mudah menerima apa yang ada. Selalu mensyukuri yang diberi.
Hidup belum selesai hingga kita tertidur, terlelap dan tenang dalam rumah terakhir. Keindahan perjuangan terletak pada proses yang kita lalui, pelajaran apa yang kita dapatkan. Kisah perjuangan selalu tampak heroik dan mengagumkan. Perjuangan tak perlu sandiwara. Berjuanglah secara abadi. Lakukan sebaik-baiknya yang engkau bisa.
Sampai saat ini, apakah perjuangan masih tetap indah? Seperti apa keindahan perjuangan dalam benakmu, yang perih, sunyi atau mengharu biru? Sebenarnya apa yang betul-betul dicari dari sebuah perjuangan? Kesuksesan, pengakuan, kegembiraan, kebahagiaan? Sepertinya lebih dari itu semua. Mungkin sulit ditafsirkan dalam kata-kata.
Para pemuda yang dihadapkan pada kegagalan adalah orang pilihan. Mereka para penikmat perjuangan. Tak jarang orang bisa menikmati keindahan dari sebuah kepedihan, tentang kegagalan yang dirasa. Salam untuk para penikmat perjuangan. []