Ziarah

Christiaan


Membaca novel Ziarah karya Iwan Simatupang, kita akan langsung mengetahui betapa kental muatan filsafat di dalamnya, bahkan ketika kita sama sekali belum tahu kalau Iwan memang belajar filsafat di Leiden dan Paris.

Banyak hal yang digugat Iwan melalui Ziarah, tapi entah kenapa yang paling berkesan bagi saya adalah gugatannya terhadap hukum di masa ia menulis Ziarah. Hukum yang sampai hari ini pun masih diberlakukan demikian. Beberapa di antara gugatan-gugatan itu akan saya jabarkan di bawah ini.

Perihal umum. Dalam sebuah dialog, tokoh Bekas Pelukis menggugat tokoh Walikota mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan umum. Kepada Walikota, Si Bekas Pelukis mengatakan bahwa apa yang dimaksudkan dengan umum tidak lain adalah sekumpulan individu bebas.

Gugatan ini terasa masih sangat relevan hingga hari ini, mengingat dalam sebuah tatanan kehidupan bersama, umum kerap dijadikan dalih untuk merongrong hak dan kepentingan individu-individu. Dan tidak jarang, perongrongan itu disertai pula dengan upaya untuk mencapai kepuasan individu maupun kelompok lain dalam jumlah yang lebih sedikit.

Perihal bunuh diri. Mengenai bunuh diri atau upaya membunuh diri sendiri, Iwan secara frontal mengatakan bahwa jika setiap orang yang mencoba bunuh diri namun gagal, lantas akibat percobaan itu, yang bersangkutan harus ditangkap dan dihukum, maka bumi barangkali akan kekurangan penjara. Perhatikanlah penggalan narasi berikut; Kini, apakah lantas dia dapat digiring ke kantor polisi hanya karena dia tak jadi mampus dalam suatu usaha bunuh diri? Apa, dan di mana, nilai moral dari hukuman demikian? (Hal. 122).

Dari sini, tampak jelas bagaimana Iwan menggugat represifitas yang berlebih-lebihan dalam ketentuan hukum pidana. Orang yang hendak bunuh diri tentulah memiliki segudang alasan yang menjadi musabab timbulnya keinginan bunuh diri. Lalu kenapa hukum pidana seolah tak mampu melihat itu, dan malah getol ingin menghukum dan memenjarakan orang?

Perihal seks di luar nikah. Tentang hal ini, Iwan melalui novel Ziarah juga dengan lantang mengatakan bahwa jika perempuan dan laki-laki yang bersetubuh di luar nikah harus ditangkap dan diadili, maka bumi lagi-lagi akan kekurangan penjara. Melalui ini, Iwan barangkali hendak mengatakan bahwa bercinta ialah hak semua orang.

Perihal penjara seumur hidup. Perhatikan narasi berikut ini; Dengan jenis hukuman seperti ini, negara sebenarnya telah menghina dirinya sendiri. Sebab dengan ini negara telah memperlakukan mayat sebagai manusia yang masih hidup saja. Begitu ceroboh dan remehnya negara mematikan manusia, sedang sesudah itu negara dengan segala susah payah dan kecermatan merawat….mayatnya. (Hal. 86).

Secara gamblang Iwan membeberkan betapa sia-sianya hukuman penjara seumur hidup. Baik bagi negara, maupun si terpidana sendiri. Dengan penerapan hukuman penjara seumur hidup, si terpidana hanya akan menjadi mayat hidup, dan pada saat bersamaan negara bersusah payah dan menghamburkan anggaran untuk merawat mayat hidup tersebut.

Beberapa hal di atas tentu hanya segelintir dari sekian banyak pertanyaan filosofis yang diajukan oleh Iwan dalam Ziarah. Masih ada banyak pertanyaan yang mencerahkan. Ya, pertanyaan yang mencerahkan. Barangkali demikianlah kita layak menyebutnya. Dan ini pula yang membedakan karya sastra Iwan berbeda dari karya sastra lainnya, yaitu bahwa dia bertanya secara intens.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment