Ramadan, Sebuah Langkah Menuju Jiwa Transformatif


Ya, Ramadan emang mau segera berakhir, tapi nggak bisa kita lepas gitu aja dong~



Biasanya, orang akan mencari momentum untuk melakukan sebuah perubahan. Jika benar begitu, maka Ramadan ini bisa jadi momentumnya. Ramadan, menurut kepercayaan umat Islam, adalah bulan penuh pembelajaran. Manusia dididik untuk tidak berlebihan, tidak berbuat jahat, dan menahan nafsu—baik nafsu amarah atau biologis. Termasuk, sebenarnya, menahan ego “ke-aku-an” yang menonjol dalam jiwa manusia.  

Di bulan Ramadan, umat Muslim diwajibkan berpuasa. Secara reflektif—disadari atawa tidak, puasa di bulan Ramadan adalah ibadah individu yang bercorak sosial. Bagaimana bisa? Coba perhatikan, puasa di bulan Ramadan tidak lain dimaksudkan agar manusia menjadi lebih baik. Lebih baik bagi siapa? Tentulah bukan hanya untuk manusia sendiri, tetapi untuk orang banyak. Lebih-lebih, bagi keseluruhan makhluk hidup. 

Struktur kehidupan makhluk hidup memang selalu seimbang. Di situ ada rusa pemakan rumput, pastilah ada harimau pemakan rusa. Di sana ada tikus pemakan hama tanaman, niscaya ada ular pemakan tikus. Semuanya ada karena kehidupan memang sudah didesain oleh Gusti Pengeran sedemikian rapi.

Coba bayangkan salah satu rantai kehidupan itu punah; pastilah semuanya berubah tak seimbang. Misalnya, karena rendahnya populasi ular—akibat penangkapan besar-besaran oleh manusia—tikus menjadi raja di ladang petani. Petani pun harus merogoh kocek “tambahan” demi obat pembasmi tikus. Padahal, jika berjalan sempurna, agaknya tak butuh obat itu, kecuali untuk keperluan yang lain—peningkatan produkvitas, umpamanya.

Itu dalam konteks kehidupan makhluk hidup, dalam kejadian sehari-hari pun manusia juga sama, begitu adanya. Struktur masyarakat itu, tulis Kuntowijoto, ada coraknya masing-masing. Setiap orang punya nasib dan posisi dalam struktur sosial masyarakatnya. Ada orang kaya dan ada orang miskin, ada kepala negara dan ada masyarakat, ada orang baik dan ada orang jahat. Semuanya begitu. Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah, dalam struktur sosial masyarakat kita itu, “Orang yang dirugikan harus diperhatikan, dan kalau perlu dikasih perhatian lebih,” demikian kata Faisal Basri, suatu sore di kantor INDEF, Jakarta. 

Kita ambil contoh soal kemiskinan. Angka kemiskinan di Indonesia memang terus menunjukkan penurunan—terbaru, turun 0,16 persen dari Maret 2018, tetapi kalau dilihat dalam struktur yang lebih detail, jumlahnya masih cukup besar—sekitar 25,67 juta per September 2018. Apalagi jumlah orang-orang yang berpotensi miskin masih cukup kuat; mayoritas tinggal di perkampungan kota dan perdesaan. Sekelompok masyarakat inilah yang harus dibela. Tentu saja, di samping faktor alamiah, fakta ini menyeruak karena ketikdakseimbangan yang terjadi, entah sebab apa dan siapa, yang jelas demikian adalah by design.

Jika masih ada puluhan juta rakyat Indonesia yang berada dalam kategori pra-sejahtera, lantas pantaskah kita berpesta di atas penderitaan mereka? Puasa adalah bulan perbaikan jiwa. Dalih apa pun jelas tidak bisa digunakan untuk membenarkan kebahagiaan di atas penderitaan.

Sekarang kita bisa melihat sendiri, orang-orang kaya hidup begitu konsumtif. Konsumsi mereka, bisa jadi, dua kali, tiga kali, bahkan empat kali lipat pendapatan orang-orang miskin yang hidup hanya beberapa meter dari mereka.

Kota-kota besar di Indonesia adalah lingkungan yang jahat. Orang kaya berpesta di atas tanah kemiskinan. Orang berduit mandi susu di tengah gurun. Tidak tahu orang lain berpeluh keringat untuk sekadar mendapatkan minum (baca: kesejahteraan).   

Kalau kita mau jujur, puasa itu mengajarkan kesetaraan. Dalam puasa, kita diajarkan untuk menahan diri—setidaknya untuk tidak berlebihan. Dalam situasi begini, tidak ada bedanya puasa orang yang bergaji ratusan juta perbulan dengan bapak-bapak tukang becak. Islam, kata firman Tuhan, tak mengenal “kasta” di hadapan-Nya. Adalah konsep “takwa”—kesadaran yang tinggi atas-Nya—yang menjadi dasar di hadapan Tuhan, terang Muhammad Asad, The Message of The Quran.      

Itu baru perilaku manusia kepada sesama, bagaimana perilaku tak acuh manusia terhadap alam? Momen Ramadan adalah waktu yang tepat untuk membuka fikiran dan hati. Memperluas bahan refleksi, bahwa kita, manusia, tidak hidup dalam ruang kesendirian. Di sana ada manusia dan ada makhluk lain—hewan dan tumbuh-tumbuhan. Kesadaran yang lebih luas inilah yang mestinya kita pupuk dan bangun secara perlahan.   

Lebih-lebih, puasa adalah soal penghargaan. Tentu, bukan hanya penghargaan pada sesama, tapi juga pada lingkungan. Benar, kita memang puasa. Dalam arti puasa secara biologis dan etika kepada sesama, tapi kalau kita lupa puasa berperilaku buruk pada alam dan seisinya, bagaimana bisa kita masih menyebut diri berpuasa? Kepada hewan, misalnya. Kita membunuh dan menelantarkan banyak binatang—tidak memberi makan dan hanya menjadikannya objek jualan dan perhiasan. Buat apa berpuasa? Inilah refleksi transformatif yang patut dijawab.

Sehingga, di sini, kita bisa bertanya: Apakah perilaku kita sudah mengarah pada kesadaran egaliter atas makhluk hidup?

Barangkali masalahnya ego “ke-aku-an” kita masih terlalu tinggi. Kita menganggap yang lain lebih rendah dan pantas untuk diremehkan.

Atau, hidup kita terlampau “mekanis-pragmatis”. Kamu mengeluarkan apa dan dapat apa? That’s it. Tidak ada ketulusan. Semuanya kepentingan. “Tidak ada kawan dan musuh abadi, yang ada hanya kepentingan abadi”, ungkap seorang politisi.   

Di pihak lain, mungkin kita telah kehilangan rasa “cinta”. Cinta pada Tuhan, cinta pada manusia, dan cinta pada keseluruhan rangkaian kehidupan.

Seorang sufi pernah bilang, cinta adalah navigasi kehidupan. Jika cinta hilang, maka cara berfikir kita kehilangan arah. Cinta, dalam hal ini, adalah soal memiliki. Rasa memiliki inilah yang pada waktunya menuntun manusia berkorban demi kebaikan, bukan tentang kebaikannya sendiri.

Di sini, “ke-aku-an” telah hilang dan tergantikan rasa kepemilikan dan kebutuhan untuk melindungi objek cinta. Kita bisa bayangkan, jika objek kecintaan itu adalah orang-orang miskin, orang-orang lemah, dan lingkungan alam beserta hewan-hewan yang ada di dalamnya, sedamai apakah kehidupan kita? Tentu, sangat damai, bukan?  

Dalam posisi begini, kita patut menggeser prinsip “ke-aku-an” kepada pola pikir “objektif”. Maksudnya, kita mengarahkan diri pada upaya menekan ego dan menyadari kehidupan yang lebih luas; kita tidak sendiri.

Jiwa transformatif adalah jiwa yang ‘selalu’ gelisah. Jika Kuntowijoyo memandang cendekiawan adalah aktor perekayasa sejarah, maka cendekiawan pulalah yang berperan besar mengatur jalannya ekosistem kehidupan. Inilah teori “khalifah bertingkat,” tambahnya.

Tidak hanya manusia yang membutuhkan kehidupan layak. Hewan dan tumbuhan juga perlu. Tidak hanya manusia saja yang lapar, hewan dan tumbuhan pun begitu. Maka, di sini, jiwa transformatif adalah jiwa yang sadar. Sadar bahwa manusia tidak hanya hidup sendiri dalam ruang kemanusiaannya, melainkan hidup dalam epos ekosistem kehidupan.

Akhirnya, Ramadan, menurut kami, adalah sarana yang baik untuk berubah. Berubah ke arah yang lebih baik; menyadari bahwa setiap realitas kehidupan punya haknya sendiri untuk makmur dan sejahtera.

Salam,
Redaktur.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment