Syahria Tara Dia Ulya
Penyuka Senja
Sore itu, Bandar Udara Juanda tertutup mendung. Seakan mengerti tangis sendu setiap perpisahan yang menghiasi wajah-wajah yang ditinggalkan. Terminal dua keberangkatan antarnegara ramai dipenuhi tangisan dari mereka yang melepas atas nama cinta.
“Ah, bukankah kata Sapardi: Perpisahan dan perjumpaan itu sama saja, keduanya diisyaratkan dengan lambaian tangan?” Bisik Indah mencoba menguatkan hatinya yang mulai limbung.
Fajar, lelaki yang kini akan meninggalkannya untuk melanjutkan studi ke Belanda, berdiri tepat di sampingnya. Bersiap-siap menuju pintu keberangkatan.
“Ndah, saya pergi dulu. Kamu tunggu saya ya.” Pinta Fajar pada perempuan yang sejak tadi berdiri di sampingnya. Indah hanya tersenyum, senyuman yang sama sekali tidak mampu diterjemahkan oleh Fajar, senyuman yang kali ini membuat Fajar harus mengulang kembali permintaannya.
“Kamu mau kan, Ndah, menungguku?” Indah menatap Fajar lekat, lalu sekali lagi hanya senyuman yang mendarat di bibirnya.
Indah tahu betul, hubungannya dengan Fajar tidak senormal pasangan kekasih pada umumnya. Fajar berasal dari keluarga pejabat, bergelimang gelar dan kehormatan. Yang hari ini dilepaskannya untuk melanjutkan studi S3 di Belanda.
Keluarga Fajar tidak pernah menunjukkan perasaan suka pada Indah. Perempuan yang hanya lulusan sarjana dengan latar belakang keluarga sederhana.
Ayah Indah memiliki bengkel kecil di sebelah rumahnya. Ibunya penjual soto gerobak di perempatan Jalan Pacar Keling, Surabaya.
Sahabatnya, Ruly, yang selalu men-support hubungan Indah dengan Fajar.
“Ndah, kamu harus percaya diri di depan keluarga Fajar. Meski hanya lulusan sarjana di universitas swasta dan tidak punya privilese apa pun, tapi kamu itu cerdas, aktif, dan mudah bergaul. Kalau kamu sekolah lagi, aku yakin kamu bisa jadi Menteri.” Ruly berusaha meyakinkan Indah akan kekalutannya perihal hubungannya yang tak juga menemukan muara.
Semua yang dikatakan sahabatnya itu benar. Indah adalah prototipe perempuan cerdas dan tangguh. Namun, kepercayaan dirinya hilang saat bertemu dengan keluarga Fajar yang bangsawan.
Begitu juga dengan Fajar, lelaki berparas aristokrat yang entah bagaimana bisa menjatuhkan hatinya kepada Indah.
Pandangan Indah nanar, saat di depan matanya Fajar melambaikan tangan. Pertanda kebersamaan mereka telah menemukan akhir. Indah membalas lambaian tangan Fajar, di kedua mata telah menganak sungai air mata yang siap terjun melewati tebing pipinya.
Seperti paradoks, kenangan-kenangan dengan lelaki yang telah memenuhi rongga hatinya selama enam tahun itu bermunculan.
“Ndah, kamu tahu kan bagaimana perasaan saya?”
“Ndah, saya tahu ini sulit, tapi keluarga saya pasti merestui”
“Ndah, saya tidak akan pergi terlalu lama”
“Ndah, kamu harus tunggu saya, ya.”
Namun, kenangan yang tak kalah pahit juga ikut menumpuk di ingatan Indah. Beberapa teman-teman di tempat kerjanya sibuk membicarakan hubungan yang bak cerita Cinderella tanpa perlu kehilangan sepatu kaca itu.
“Gimana sih Ndah, kamu kok bisa menjalin hubungan dengan anak pejabat macam si Fajar? Beruntung sekali hidupmu, sebentar lagi kamu pasti hidup enak. Gak perlu lagi seperti kami yang pergi pagi pulang malam.”
“Ah, atau jangan-jangan sekarang segala kebutuhanmu malah sudah ditanggung sama si Fajar. Dia kan kaya.”
Celetukan beberapa teman kerjanya seperti memberi kejut listrik pada jantungnya.
Atau, ingatan tentang keluarga Fajar yang berkali-kali mengingatkan dia untuk memikirkan kembali hubungannya dengan Fajar.
“Kamu bisa menyesuaikan diri dengan keluarga kami?”
“Apa kamu bisa mendukung karir Fajar di kemudian hari?”
“Ini akan sangat melelahkan, Ndah. Jika kamu tak sanggup, masih ada waktu untuk membuat pilihan lain.”
Pernyataan itu seperti sebuah tuntutan yang kapan pun bisa membawanya pada hukuman mati.
Tak terasa airmata Indah menderas, awan pekat menggantung dihatinya. Hujan juga telah menguasai sebagian kota Surabaya yang sedari tadi dikepung mendung.
Ada sesuatu yang menggelanyar di hatinya. Dia harus melepaskan Fajar, tidak hanya melepaskan secara fisik tapi juga perasaan. Melepaskan yang sebenarnya melepaskan.
Di ujung sana, yang tersisa hanya punggung Fajar. Indah masih menatapnya dengan sepenuh jiwa.
Lalu, ia mengambil ponsel di saku sweater-nya dan mengirimkan pesan WhatsApp kepada lelaki yang sangat dicintainya.
“Saya mencintaimu Jar, karena itu saya melepaskanmu. Selesaikan studimu dengan baik, dan temukan perempuan lain.”
Dikirimnya pesan itu dengan dada berkecamuk dan isak tangis yang senyap namun pilu.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id