Perempuan dengan Kisah yang Belum Selesai (Part 1)

PUCUKMERA – Aku seorang perempuan. Ya, sebut aku perempuan. Seorang makhluk yang katanya lebih banyak menjadi penghuni neraka.  Aku adalah makhluk yang hidup dan dibesarkan dari asumsi-asumsi manusia sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Aku perempuan yang sejak duduk di bangku Sekolah Dasar telah dikenalkan pada bumbu-bumbu dapur dan rempah-rempah. Mana kunyit, mana jahe, mana kencur, mana lengkuas, mana merica, mana ketumbar. Aku perempuan yang sejak kecil dikenalkan pada wajan, panci, dandang, sutil, pisau, telenan, piring, gelas. Aku adalah perempuan yang sejak belum bisa membersihkan ingusku sudah dikenalkan cara menyalakan kompor, cara menggoreng, mengenal warna tempe yang telah matang, tanda-tanda air mendidih, cara mencuci perabotan rumah tangga, cara memegang sapu, cara mencuci baju, cara membersihkan kotoran ternak. Aku perempuan yang seolah merasa menjadi makhluk kedua setelah laki-laki.
Para perempuan sebelumku mengajarkan aku itu semua sambil memegang tanganku mereka berkata sedikit ada nada menuntut, “Kamu itu perempuan nanti akan menjadi seorang ibu masak ndak bisa mengerjakan pekerjaan rumah.” Saat aku mulai mengenal dapur, aku melihat teman-teman lelaki sebayaku tengah asyik bermain-main kesana-kemari tanpa ada beban moral, “Apakah nasi di rumah tadi masih ada atau sudah habis yaa? Rumahku sudah disapu belum ya? Cucian piring tadi masih di meja atau sudah ada yang mencuci yaa?” Tanya-tanya yang telah dilatih oleh mereka sebelumku. Sementara mereka yang sepantaran denganku dan bukan perempuan seolah diberi kebebasan meninggalkan rumah tanpa beban itu. Yang penting mereka sudah makan dan pulang sebelum senja membenamkan diri. Lalu kemudian, sehabis Isya’ mereka kembali cangkruk di rumah-rumah temannya secara bergantian hingga larut malam. Sedang aku dan perempuan-perempuan lain yang senasib harus sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah itu sebelum senja pulang ke peraduannya kemudian tidak boleh kemana-mana setelah adzan maghrib. Anak perempuan yang keluar rumah pada jam-jam itu dianggap anak wedok ndableg perlambang kami dianggap melanggar norma.
Aku adalah perempuan. Yang batasan-batasannya tidak hanya diatur oleh agama tapi, masyarakat turut ikut campur memberikan batasan kepada kami. Aku merasa bahwa tidak ada nilai keadilan disini sekalipun semua bangsa di dunia berkoar katanya gandrung keadilan. Aku perempuan yang diwajibkan bangun pagi-pagi sebelum para lelaki bangun. Aku harus membersihkan piring dan gelas kotor bekas laki-laki, kemudian harus menyiapkan makan pagi mereka sebelum matahari naik ke atas langit menghangatkan tubuhku.
Jika kami turut melakukan pekerjaan lelaki, kami selalu dianggap tidak pecus, kurang kuat, kurang cekatan. Jikalaupun ada beberapa dari kami yang perkasa dianggap menyamai lelaki. Seolah di dunia ini tolak ukur kekuatan otot hanya ada di tangan laki-laki sementara aku dan makhluk sejenisku hanyalah produk sekunder yang mungkin ototnya tidak terbuat dari besi seperti otot para lelaki.
Ada beberapa laki-laki yang merasa menyesal karena ternyata yang didapati mereka adalah anak perempuan macam kami. Yang saat kecil dikuncir renteng-renteng dengan pipi tembemnya kemudian diberi pakaian berwarna merah sehingga terlihat menggemaskan. Kata sebagiannya mereka merasa risih dengan kehadiran kami. Yang saat kami masih balita mereka merasa malu karena kami yang tengah memasuki tahap masa perkembangan mengalami semacam rasa sayang berlebihan -yang oleh Freud disebut electra complex– kepada mereka, para lelaki yang disebut ayah. Kemudian saat kami menginjak dewasa mereka melarang kami kesana-kesini dengan dalih katanya surga dan neraka mereka adalah tergantung kami. Entahlah pembelaan dan penjara macam apa ini.
Katanya kita sudah terbebas dari jaman jahiliyah tapi, nyatanya masyarakat masih memberikan sekat rapat-rapat sebagai pembeda antara kami para perempuan dan mereka para lelaki. Seolah derajat lelaki masih jauh lebih tinggi dibanding kami, tidak adil bukan? Dan kami selalu diragukan di segala penjuru.
Kami perempuan, kami dibentuk oleh masyarakat bukan Tuhan. Di dunia ini paradigma kami dibentuk untuk mengalah kepada lelaki. Untuk tunduk dan setia kepada seorang lelaki sementara lelaki dibolehkan untuk berbagi dan tidur bersama wanita lain. Dengan begitu kami dijadikan saling membenci antara perempuan satu dengan lainnya hanya karena seorang lelaki.
Aku seorang perempuan yang bahkan kemanapun langkahku melaju selalu dihantui dengan tanya, “Lantas bagaimana menjadi perempuan ideal? Dan bagaimana kriteria perempuan ideal itu?” Pertanyaan yang kemudian dijawab dengan iklan komersil tentang produk-produk kecantikan. Iklan yang dibuat oleh para kapitalisme yang terkutuk, yang mengkotak-kotakkan kami. Hingga kemudian definisi cantik seolah berdasarkan warna kulit yang putih, bersih sebagaimana yang dijanjikan oleh produsen produk kecantikan itu. Hingga kemudian rupa fisik menjadi tolak ukur dan standarisasi menjadi perempuan ideal.
Sifat dasar perempuan dengan label “perasa” seolah dijadikan kelemahan oleh lelaki yang lekat dengan label “berlogika”. Tentu itu adalah dua hal yang saling bertolak belakang namun, mestinya harus menjadi sebuah kesatuan yang holistik. Ya, aku adalah salah satu perempuan perasa itu. Perempuan perasa yang akan selalu melekat pada ingatannya peristiwa-peristiwa bermakna menurutnya.
Betapa dunia ini tidak adil untuk wanita-wanita yang parasnya tidak sesempurna bintang iklan handbody, sabun, hingga bedak di layar kaca setiap rumah. Betapa ketidakadilan itu bukan hanya terjadi dalam dunia sosial saja akan tetapi, dalam urusan cinta kami pun harus menjadi nomor dua setelah lelaki. Ini yang sangat aku benci dan beberapa wanita di dunia yang senasib sepenanggungan denganku.
Dalam urusan takdir cinta perempuan pun dibentuk oleh asumsi orang-orang kebanyakan bahkan beberapa yang merupakan bagian kami turut andil dalam membuat semacam norma yang kemudian kusebut norma cinta. Bahwa dalam perkara cinta menjadi hal yang aneh lagi tak lazim jika perempuan yang menyatakan cinta lebih dulu kepada seorang laki-laki yang dicintainya. Dianggaplah perempuan itu adalah perempuan yang hina lagi tak punya harga diri. Telah jatuh sejatuh-jatuhnya harga diri perempuan itu saat lisannya memberikan pernyataan kepada lelaki bahwa ia jatuh hati kepada lelaki itu. Kemudian lain halnya bila lelaki yang memulai untuk menyatakan cinta lebih dulu kepada perempuan maka, ia akan dianggapnya menjadi lelaki yang tangguh lagi pemberani. Lambang ksatria sejati.
Bahkan kisah cinta Khadijah dan Rasul SAW pun yang telah berabad-abad menjadi kisah teladan umat manusia. Kisah perjuangan sejati seorang perempuan yang berani menawarkan dirinya kepada Rasul kemudian menghabiskan sisa hidupnya untuk menemani perjuangan Rasul. Khadijah cermin wanita setia. Khadijah perempuan pemberani yang telah melawan gengsi dan segala ketidakpercayaan dirinya untuk menyerahkan baktinya kepada Rasul hingga akhir hayatnya. Bukankah wanita yang demikian adalah wanita yang benar-benar bersungguh-sungguh? Lantas mengapa orang-orang melupakan sejarah dan kisah teladan itu? Mengapa pula laki-laki harus berpikir berkali-kali untuk menolak dan sedikit yang menerima?

Bersambung

Oleh : Debby Pratiwi
Editor/Illustrator : Mufardisah

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment