Pemenang Atau Pecundang?



Nainunis Nailati


Tinggal menghitung hari saya akan menghadapi Kuliah Praktek Lapangan (KPL). Seperti tahun-tahun sebelumnya, kini saya juga ditempatkan di salah satu SMA di Lawang, Malang, Jawa Timur. Semakin mendekati hari H, aku mengalami kegundahan yang mendalam. Betapa tidak? Semakin banyaknya tipikal guru, hingga menimbulkan bermacam kasus yang tidak menyenangkan, baik yang dilakukan guru atau pun sebaliknya.

Namun semuanya tidak melulu salah muridnya atau guru. Karena semua kejadian pasti ada sebab-akibatnya. Terkadang ego bisa saja melahirkan guru sombong. Ego membuat guru fokus secara defensif pada kebutuhan diri sendiri. Inilah sumber kehancuran yang seringkali tak disadari. Begitu seorang guru berfokus pada diri sendiri, murid-muridnya merasa tidak diperhatikan. Padahal, inti kesuksesan guru bersifat altruis, yakni kemampuan untuk berfokus kepada murid.

Guru yang baik yaitu guru yang bermental pemenang (winner) bukan (survivor). Kebanyakan guru tujuan hidupnya bukan menjadi pemenang, melainkan sekedar  “hidup” bahkan “menumpang hidup” (sekadar survive). Di sekolah-sekolah, banyak guru survivor  yang sekadar bekerja, menumpang hidup, dan tidak mengejar prestasi. Menjadi guru yang bermental juara tidaklah mudah. Keberanian dan tekad yang tinggi harus melawan ketakutan, kenyamanan, menuntut diri lebih daripada sebelumnya, dan semuanya mengandung risiko.

Bicara soal guru bermental pemenang harusnya memiliki harga diri (self esteem). Guru akan bahagia karena diakui dan dihargai, dan tidak meladeni apa kata pecundang (loser) karena membahagiakan muridnya. Guru dihargai karena menghargai muridnya. Guru memberdayakan bukan mentunadayakan muridnya. Guru bermental pemenang bukalah guru yang sibuk mengurusi dirinya sendiri (selfish).

Kemenangan akan tercapai jika hidupanya seimbang antara duniawi-surgawi, pribadi-keluarga, material-spiritual, dan keluarga-masyarakat. Menjadi seorang winner bukanlah urusan yang sesaat. Butuh proses panjang dalam menghadapi berbagai medan tantangan yang berliku. Tidak ada jalur tol dalam meraih kemenangan.  Jika kemenangan telah diraih setidaknya bisa bernafas lega, namun perlu diingat, bahwa guru harus menghadapi tantangan selanjutnya. Kalaupun toh menghadapi sebuah kekalahan, itu sudah menjadi hal yang lumrah bagi seorang guru.

Namun, kembali ke titik balik saya sebelumnya, apakah saya sudah siap untuk menjadi calon guru winner nanti selama KPL? Selaras dengan jurusan yang saya ambil di kuliah yakni Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan. Otomatis saya akan mengampu mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Pelajaran yang seringkali membuat siswa jenuh mengenai pasal-pasal, demokrasi, nasionalisme, politik, hukum, dan lain sebagainya. Akan sangat riskan jika saya, pada akhirnya, menjadi guru yang bermental loser. Alih-alih bermental pemenang yang mendapatkan kemenangannya, malah berakhir menjadi guru pecundang dan tak ada keinginan untuk jadi pemenang.

Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran wajib dari kelas 1 Sekolah Dasar (tahun pertama) sampai kelas 3 Sekolah Menengah Atas  (tahun kedua belas) yang sifatnya mengulang, menjemukan, dan sering tumpang tindih dengan pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Antropologi. Sejak tahun pertama hingga tahun kedua belas, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi ajang indoktrinasi politik yang diulang-ulang secara sistematis bermuara pada ambisi ideologi nasional. Ideologi yang secara kebelingergandrungan akan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan. Konsepsi Ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan seakan beres bila sudah dihafalkan.

Mencari makna kebenaran dari konsep itu dalam kehidupan nyata sehari-hari hanya akan membuat murid dan guru nervous, frustasi, dan sakit hati. Bunuh diri merajalela di kalangan siswa karena intimidasi kemiskinan. Sementara itu, koloni kaum tajir para koruptor mengapung di tengah samudra keserakahandan ketidakpedulian. Rasa bosan dan jemu hanya bisa dilupakan setelah para murid menamatkan pendidikan. Pardigma otoritarianisme memang sukses menjalankan proyek penjinakan dan kepatuhan, tetapi konyol sebagai pedagogi.

Dua belas tahun siswa disuguhi slogan negara yang mengagung-agungkan diri sendiri dan sendiri dan langgeng menempatkan warga sebagi penduduk yang tidak becus hingga senantiasa perlu digiring. Kesan pertama tentang pelajaran PPKn (Kurikulum 2013) adalah propaganda. Sejalan dengan itu pelajaran pendahulunya PKn (Kurikulum 2004 dan Kurikulum 2006, PMP (kurikulum 1984) dan PPKn (Kurikulum 1994), apa yang diajarkan tak pernah diterapkan dalam kehidupan nyata.

Hal yang semacam ini hanya akan memberikan murid kebebasan untuk bosan dan geli karena inkonsistensi pelajaran dengan realitas, argumen yang aneh nyeleneh, pemakaian bahasa yang kurang tepat, dan sifatnya mengulang-ulang omong kosong. Argumen yang menjunjung tinggi bahwasanya bangsa Indonesia adaah bangsa Pancasilais. Namun mengapa kondisi yang terjadi justru mencerminkan bahwa kita adalah bangsa yang ringan senjata dan sering membakar rumah-rumah ibadah. Di mimbar kebanggaannya elit politik menggaungkan dengan sangat fasih tentang pemerintahan yang bersih, tetapi mengapa pada saat yang bersamaan urat malunya terputus dan menjadi parasit negara sebagai seorang koruptor. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang damai, tapi mengapa hanya soal perbedaan pandangan politik hingga menimbulkan pecah belah yang amat mengerikan pasca pilpres? Bangsa Indonesia adalah negara yang berperikemanusiaan, namun mengapa kesenjangan sosial sangat kentara apalagi soal kemiskinan. Para murid paham betul tentang inkonsistensi tersebut, karena mereka melek media massa, internet, tv dan lain sebagainya. Salah siapa jika pelajaran PPKn disebut sebagai pelajaran yang sia-sia, suatu pemborosan, bahkan bisa saja kita sebut sebagai pembodohan (stupidifikasi) karena tidak mengindahkan logika, dan tidak membangun murid untuk berpikir analitis.

Pengetahuan sejatinya perlu diolah kembali agar matang sempurna, bukan sesuatu yang sudah jadi dan tinggal memompakan ke dalam pikiran muridnya, melainkan sesuatu yang harus dipikirkan, digeluti, dan dikonstruksi oleh murid. Guru bukanlah makhluk maha tahu. Ia bukan lagi sumber belajar dan sumber pengetahuan bagi murid. Para murid kini sudah bisa mengakses berbagai bentuk media untuk menambah khasanah pengetahuannya. Guru yang demokratis berani meninggalkan metode klasik yang hanya memperlakukan murid sebagai bejana kosong. Maka dari itu guru perlu mengubah mindset dari seorang yang mengajar jadi pembantu belajar. Dan semoga ketakutan yang saya alami menjelang KPL bisa teratasi dengan berusaha menjadi guru winner bukan loser. []

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

  • salma mamaya
    Posted August 8, 2019 at 3:38 am 0Likes

    Banyak juga guru sekarang yang lebih mementingkan hasil daripada proses pembelajaran, sehingga terkadang ilmu tidak tersampaikan sebagaimana mestinya,, semoga kita adalah guru dan calon guru mampu menjadi teladan dan pemenang bagi peserta didik.

Leave a comment