NGOPI

PUCUKMERA – Istilah “Ngopi” sudah menjadi diksi umum. Digunakan oleh banyak orang. Bahkan mungkin, menjadi lema yang paling sering dipercakapkan sehari-hari. Terutama bagi anak-anak muda.

Secara kebahasaan, kata “Ngopi” sejatinya tidak ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia—artinya tidak baku. Ia hanya kosakata baru yang muncul dalam percakapan gaul. Yang secara formal seharusnya ditulis dan diucap sebagai “meminum kopi”. Sebab terlalu ribet, akhirnya dicampurlah unsur Jawa menjadi “Ngopi yang artinya meminum kopi”.

Uniknya, kata “Ngopi” kemudian hari tidak hanya dimaknai sebagai ‘meminum secangkir kopi asli’. Tapi, sudah lebih dari itu. Ngopi sudah bermakna “kumpul di warung kopi dan minum sembarang jenis minuman”. Artinya, tidak harus minum kopi untuk menggunakan diksi “ngopi”. Pun, “kumpul” itu sendiri kini bermakna “ngopi”, meskipun tidak minum kopi.

Malahan, di beberapa kesempatan, kata “Ngopi” digunakan untuk menunjukkan aktivitas ngobrol santai dengan tidak ada batas waktu. Intinya, ngobrol yang menghabiskan waktu. Nongki-nongki-lah bahasa bekennya. Namun, pemaknaan ini agaknya cenderung negatif. Tidak produktif. Dan hedonis.

Memang, keberadaan sinyal wifi yang terpancar gratis, membuat si pecinta ngopi betah berlama-lama di kedai kopi. Kebiasaan main game yang telah menjadi habitus baru, jelas termanjakan. Akses informasi dunia maya juga menjadi sangat mudah.

Mau cari info beasiswa, info indekos, info makanan, semuanya terfasilitasi pokoknya. Di samping itu, lokasi kedai yang kadang kala didesain artistik, menambah suasana asik. Menjadi spot terbaik untuk berswafoto. Duduk bersama, “cekrik”, upload deh.

Setelah upload. Seiring datang berjibun “like” dan “comment”, datang pulalah percakapan asik tentang jumlah like dan comment, si A si B yang nge-like. Yeah it’s pretty good you get a lot of likes and comments, but it’s really wasting time if you just waiting a “comment” and “like”.

Setelah hilang beberapa jam bercakap yang menghabiskan waktu, tibalah saatnya pulang, dan tidur. Begitu saja seterusnya. Memang anak muda suka kehidupan begitu. Namun, bagi anak muda yang sadar betul, agaknya akan menggunakan diksi “ngopi” untuk sesuatu yang betul-betul bermanfaat, produktif, dan jelas.

Dalam kisah dunia pakeliran saja, Arjuna (Pandawa) mampu memilih dengan akal sehat, ketika ditanya Kresna memilih dirinya apa seribu raja. Raja Astina Prabu Duryunada (Kurawa) kelewat sesat pikir karena memilih seribu raja. Dalam perkembangannya, perang Bhatarayuda dimenangkan oleh Arjuna, berkat pilihan akal sehatnya yang memilih Kresna daripada seribu raja. Sebab, Kresnalah yang memegang kitab Jitabsara.

Arjuna saja mampu menggunakan akal sehat untuk memilih, mengapa kita tidak? Sehingga dari penjelasan pendek ini, rupanya, ngopi lebih banyak dimaknai pada posisi kedua dan ketiga. Tergantung tujuan dan cara pandang yang digunakan. Tetapi secara sosiologis, kedua dan ketigalah yang paling banyak. Yakni, “ngopi yang tidak produktif, very costly, dan no results”.

Sungguh begitu, bagi saya, aktivitas ngopi yang kini digandrungi oleh banyak anak muda ini, sebetulnya adalah tindakan yang bersifat ganda. Bisa jadi positif, bisa jadi negatif. Ya, mirip sisi mata uanglah.

Ambillah “ngopi” itu bermakna postif. Tentu iya. Karena bagaimanapun banyak keputusan besar biasanya diambil di warung kopi. Bahkan, keputusan yang paling menentukan bagi hidup seseorang sekalipun, tak jarang dibereskan di warung kopi. Untuk yang ini, saya pernah melihatnya. “Keputusan hidup seorang laki-laki muda yang ditentukan di atas meja kecil salah satu sudut warung kopi”. Menarik.

Namun juga, yang tidak bisa dipungkiri, aktivitas ngopi sepertinya telah menjadi ruang baru yang justru tidak produktif, harus dikurangi. Datang malam hari, pulang dini hari. Paginya tidur sampai siang. Pola istirahat hancur. Jangan tanya pola makan, sudah pasti kacau. Ngobrol berjam-jam, tidak ada hasil. Non sense.

Pun temasuk, uang yang harus dikeluarkan cukup banyak. Konsumsi meningkat. Namun tidak membawa kebahagiaan jangka panjang. Ya, sebatas keluar duit saja.

Saya bilang begini, bukan karena saya tidak suka ngopi. Saya suka. Cuman, saya melihat, akhir-akhir ini, aktivitas ngopi justru semakin tidak produktif. Bahkan cenderung hedonis. Tidak ada asupan bermutu sama sekali.

Ya, inilah yang terjadi. Tapi, sekali lagi, saya tidak ingin mengatakan ngopi adalah buruk. Ngopi itu netral. Ia hanya diksi. Cuman, “subjek” ngopi itu lho yang agaknya memberikan kesan ngopi kini menjadi buruk. Sayang sekali.

Malang, Paruh akhir Juli 2018

Oleh : Azhar Syahida
Illustrator / editor : Mufardisah

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment