Mengembalikan Pendidikan pada Akarnya

Mochammad Fatkhurrohman


Belum lama ini saya membaca sinopsis sebuah buku yang membahas tentang bagaimana Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi secara perlahan justru semakin menjauhkan para lulusannya dari kerja memuliakan tanah.

Secara sederhana fenomena tersebut dikenal dengan sekolah yang mencerabut peserta didik dari asalnya. Sinopsis buku tersebut bercerita bahwa hari ini desa semakin dijauhi oleh para lulusan perguruan tinggi tanpa melihat bagaimana sumbangsih nyata yang sudah diberikan oleh desa.

Saya memang belum membaca buku tersebut, tetapi ketika saya membaca sinopsis dari buku itu saya langsung mengangguk setuju. Kira-kira memang seperti itulah realitas pendidikan kita akhir-akhir ini. Mereka yang sejak awal memiliki kehidupan di desa justru setelah lulus kuliah malah lebih memilih untuk hidup di kota. Harapan mendapatkan mimpi-mimpi kehidupan yang lebih sejahtera di kota dari pada di desa.

Para lulusan perguruan tinggi selalu merasa dengan tinggal di kota maka hidup akan lebih baik. Selalu ada anggapan bahwa hidup di desa berarti berteman dengan kesulitan khususnya ekonomi.

Sesungguhnya hal tersebut tidak benar-benar terjadi. Justru kehidupan sederhana di desa tidak bisa dianggap sulit bagi mereka yang hidup di sana. Anggapan mengenai hal tersebut tidak selalu tidak benar-benar terjadi.

Pekerjaan-pekerjaan yang ada di desa seperti bertani, beternak dan lain sebagainya dianggap tidak lebih baik dari pekerjaan yang biasa ada di perkotaan. Kita beranggapan bahwa kota bisa memberikan segalanya.

Walaupun saya sendiri masih meragukan pernyataan tersebut, karena apa bisa kota memberikan padi, sayur dan daging yang umumnya dihasilkan dari bertani dan beternak di desa untuk saya olah menjadi masakan?

Tapi apa mau dikata, desa beserta isinya saat ini hanya dijadikan sebagai sebuah tempat untuk bersilaturahmi saat lebaran tiba. Menjadi tempat melepas penat bagi orang-orang kota yang merasa takjub saat merasakan kesejukan sawah di pagi hari sambil berucap “Maka nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan” di media sosialnya. Pada akhirnya desa hanya menjadi alat pemuas (baca: konten media sosial) untuk masyarakat kota.

Apa yang saya sebutkan di awal sebenarnya cukup menjadi kritik bagi pendidikan kita. Untuk apa sekolah kalau ujung-ujungnya malah semakin tercerabut dari tempat asal kita.

Hakikat pendidikan yang sesungguhnya adalah manfaatnya pada kehidupan sehari-hari (Fawaz, 2018). Artinya pendidikan harus mampu membuat kita lebih peka terhadap kondisi sekitar dan memahami apa kebutuhan kita yang sesungguhnya.

Karena sekolah seperti yang dikatakan oleh Roem Topatimasang dalam bukunya Sekolah Itu Candu (2010) berasal dari bahasa Yunani yaitu Skhole, Scola, Scolae atau Schola memiliki arti waktu luang yang digunakan untuk belajar. Semua berawal ketika zaman Yunani kuno banyak orang-orang yang menggunakan waktu luangnya untuk belajar ke suatu tempat atau seseorang yang pandai untuk bertanya mengenai hal-hal yang mereka butuhkan.

Poin yang ingin saya garis bawahi adalah bertanya dan mempelajari mengenai hal yang kita butuhkan. Hal itu menjadi penting karena setiap dari kita memiliki potensi yang berbeda dan itu sebuah keniscayaan. Sehingga tidak mungkin jika kita yang berbeda tersebut harus diseragamkan. Namun kenyataanya saat ini tidak berlaku, justru sebaliknya.

Kita yang berbeda malah diseragamkan. Seakan-akan kita tidak dizinkan untuk mengembangkan potensi yang berbeda-beda tersebut. Kita tidak tahu apakah semua pelajaran yang kita pelajari di sekolah atau di perguruan tinggi mampu memberikan manfaatnya pada kehidupan sehari-hari.

Sehingga pada akhirnya kita bersekolah bukan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk memenuhi tuntutan-tuntutan sosial yang berlaku. Padahal tuntutan-tuntutan tersebut belum tentu menjadi kebutuhan kita.

Buktinya belum tentu pekerjaan-pekerjaan yang ada di perkotaan sangat cocok dengan kita. Ini bukan tentang ketidakmampuan kita dalam beradaptasi, tapi tentang potensi apa yang kita miliki dan sejauh mana kita bisa mengembangkannya selama kita bersekolah. Berkat tuntutan sosial tersebut akhirnya kita kehilangan kesadaran mengapa kita harus bersekolah dan tidak mengetahui apa kebutuhan kita yang sesungguhnya.

Hal tersebut semakin diperkuat dengan paradigma reproduksi yang sangat umum digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Akhirnya para pendidik hanya mencetak peserta didik berdasarkan tuntutan sosial yang berlaku tersebut, bukan untuk mengembangkan kemampuan yang di miliki oleh peserta didik.

Sehingga wajar saja banyak para lulusan kita yang berharap mendapatkan pekerjaan-pekerjaan seperti yang ada di kota dan kebanyakan harapan itu tidak selalu terpenuhi. Ada saja lulusan yang harus menunggu cukup lama untuk mendapatkanya. Ada juga yang sebaliknya dan malah ada yang sama sekali tidak mendapatkanya.

Saya kira klasifikasi tentang pemenuhan harapan tersebut sudah terbukti dan kita memiliki banyak contoh atau jangan-jangan kita sendirilah yang merasakan hal itu? Semoga saja tidak. Saya yakin kalian yang membaca tulisan ini bukanlah orang-orang yang bersekolah hanya untuk memenuhi tuntuntan-tuntutan sosial yang berlaku.

Semoga kita bersekolah seperti masyarakat Yunani Kuno, untuk mengetahui hal-hal yang kita butuhkan. Semoga saja kita adalah para lulusan yang memuliakan tanah. Bukan saja tanah dalam artian lahan yang digarap oleh petani di desa. Tetapi tanah yang saya maksud adalah tempat dimana kita berasal dan dibesarkan. Sehingga kita bukanlah lulusan pendidikan tinggi yang tercerabut dari asalnya.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment