Ikhlas Melepas


Dian Kurniasih

Siang ini awan mendung dan gemuruh guntur mulai terdengar. Pertanda hujan akan segera tiba membasahi bumi, menghidupkan tanaman gersang dan tanah tandus, juga memberi sumber kebaikan bagi seluruh makhluk. Sementara, jalanan terlihat lengang, sepi dari lalu lalang kendaraan.

Aku masih duduk termangu di ruang tamu, ditemani sebuah buku yang kubaca menghadap ke selatan.

“Kamu baca buku apa sih, kak? Minda perhatiin kamu serius banget dari tadi”, tanya Ibuku dari ruang keluarga sambil menonton acara TV favoritnya.
“Buku apa ya, Minda? Kasih tahu nggak yaa? hehe”, jawabku sedikit menggoda dan membuatnya terus penasaran.
“Minda, kenapa sih isi buku ini relate sama keadaanku sekarang, hahaha”
“Lha, ya mana Minda tahu, kamu ini lucu deh”
“Nggak papa sih, Minda. Buat hiburan, spaneng banget. Dari pada nonton berita terus, takut psikosomatis, hehe”
“Persiapan keberangkatanmu gimana? Udah yakin beres semua?”
“Oh iya, ntar aku cek lagi. Tanggung ini tinggal dikit lagi kelar kok”

Halaman demi halaman telah rampung kubaca, buku itu berjudul Tuhan Maha Romantis, karya Azhar Nurun Ala

***

Tahun depan aku berangkat studi lanjut ke University of Melbourne. Salah satu keputusan besarku untuk pergi belajar di tanah orang. Kepergian ini mengharuskanku meninggalkan beberapa hal yang sekarang terpikul di pundak dan otak manusia tak sempurna ini, meninggalkan sementara waktu untuk berbagi ilmu pada anak-anak di pelataran alun-alun selatan kota Jogja setiap sabtu sore, juga mengubur dalam-dalam beragam kenangan bersamamu yang kini berubah menjadi hambar setelah keberangkatanmu ke ibu kota beberapa bulan lalu.

Belajar dan mendidik menjadi bagian terasik di hidupku. Meski sudah beberapa tahun merampungkan pendidikan formal di bangku sekolah, aku tetap menjalani kegiatan belajar dan mendidik. Seseorang yang senantiasa menginvestasikan waktunya untuk belajar, maka suatu saat nanti dia pula yang akan memanen hasil dari belajar itu, kan? Namun, belajar hanya untuk diri sendiri juga tidak baik. Berkaca dari pengalamanku yang selalu berguru pada banyak orang, mendorong tekadku untuk membuat orang lain setidaknya bisa mendapatkan manfaat serupa denganku. Apalagi anak-anak yang memiliki tekad belajar kuat namun tingkat keberuntungan kita berbeda. Jangan pernah tanyakan berapa gaji yang diterima oleh tenaga pendidik, selain kurang etis, juga karena tidak semua pendidik memiliki niat demi mendapatkan gaji.

Sebuah survei Programme for International Student Assesment (PISA) menunjukkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia menduduki peringkat ke 74 dari 79 negara di dunia. Dan membutuhkan setidaknya 128 tahun untuk mengejar ketertinggalan prestasi Amerika Serikat. Tentu sangat jauh di bawah dan pasti membutuhkan waktu lama agar dapat seimbang dengan negara adidaya itu. Tapi tunggu dulu, harapan itu masih ada. Setidaknya, selama masih ada tekad, segala sesuatu yang awalnya menjadi penghambat, tetap bisa tercapai walau harus dengan berdarah-darah. Kata “berdarah-darah” terlalu lebay mungkin ya. Negeri ini punya banyak sekali generasi hebat yang siap diajak berkolaborasi kok.

Perlu kita sadari, belajar dan mendidik menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Saking sulitnya, justru memberikan jalan menuju kemudahan. Maksudnya begini, ketika melihat pada data PISA atau data lainnya seputar pendidikan di Indonesia, tentu ada rasa prihatin dalam diri manusia yang gemar belajar. Bermodal keprihatinan inilah, hati kita diuji, apakah tetap belajar untuk kepintaran dan kepentingan pribadi atau justru mendorong niat tulus berbagi. Berbagi hal bermanfaat tidak hanya berbentuk materi, tapi kita bisa menyumbangkan pemikiran dan tenaga kepada mereka yang membutuhkan. Anak pedagang, anak petani, anak peternak, misalnya. Coba lihat semangat mereka. Kadang, demi menyambung hidup, mereka justru harus membantu kedua orang tuanya menjajakan dagangan di jam aktif sekolah. Sebagai manusia yang punya privilege “bisa sekolah”, banyak bersyukurlah.

Sekolah tempat mereka seharusnya berada, jauh lebih nyaman dibandingkan jalan dan pasar. Mereka masih terlalu dini untuk menikmati kegetiran hidup di medan laga itu. Jujur kuakui bahwa hidup ini pedih, sesak, dan air mata. Sesedih dan sebahagia apapun manusia, mereka pasti merasakan pedih dan sesaknya berjuang, juga mengeluarkan air mata haru ketika perjuangan itu terwujud atau sebaliknya. Ekspresi emosi alamiah yang ada dalam diri manusia.

Di tengah keterbatasan ekonomi keluarga yang sebagian masih dialami oleh pedagang, petani, maupun peternak, kita bisa bersama-sama saling membantu anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Yuk, mulai sekarang belajar bahu-membahu untuk ikhlas melepaskan kesulitan saudara kita yang sangat membutuhkan. Karena aku yakin, pendidikan yang baik mampu meringankan beratnya beban hidup manusia. Semoga saja selalu bisa ikhlas berbagi, melakukan, dan menyebar kebaikan untuk sesama.
“Kak, kamu ngelamun? Ini udah sore lho, dan kamu belum mandi”, Ibu menyadarkanku dari hobi baru ini.
“Astaghfirullah. Iya, Minda. Duuh, hujan-hujan enak buat melamun sih, hehe” jawabku singkat.
Aku beranjak dari duduk dan mulai meregangkan otot yang mulai kaku akibat duduk terlalu lama. Kuperhatikan hujan semakin deras, dan sepertinya di tempat lain juga sama hujannya.
”Ahh, pengen hujan-hujanan. Besok kalau udah di Melbourne, pasti aku kangen banget nikmatin hujan di rumah”.

***

“Kak, kamu ngelamun? Ini udah sore lho, dan kamu belum mandi”, Ibu menyadarkanku dari hobi baru ini.
“Astaghfirullah. Iya, Minda. Duuh, hujan-hujan enak buat melamun sih, hehe” jawabku singkat.

Aku beranjak dari duduk dan mulai meregangkan otot yang mulai kaku akibat duduk terlalu lama. Kuperhatikan hujan semakin deras, dan sepertinya di tempat lain juga sama hujannya.

”Ahh, pengen hujan-hujanan. Besok kalau udah di Melbourne, pasti aku kangen banget nikmatin hujan di rumah”.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment